Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).

Sunday, 8 September 2013

Sang Penjelajah Dunia






Anak muda dari Tangier ini merelakan hidupnya pada hembusan angin yang membawanya kemana pun ia singgah. Napak tilas perjalanannya menempatkannya sebagai penjelajah dunia terbesar yang dimiliki peradaban Islam dan dunia. Ia bernama Ibnu Battuta.

Di pagi hari yang dingin, bertahun 1349, seorang pria Arab berkuda lambat menuju gerbang kota Tangier di pantai Afrika Utara. Bagi Ibnu Battuta, ini adalah akhir dari perjalanan jauhnya. Ketika ia meninggalkan rumahnya di Tangier, dua puluh empat tahun yang lalu, ia tidak pernah merencanakan sebuah perjalanan sedemikian jauh dan lamanya. Dari kejauhan, matanya menyusuri lekuk putih atap-atap rumah dan kubah masjid yang berlatarkan laut Atlantik. Ia mencoba menyusuri kembali ingatannya akan wajah kota yang telah ia tinggalkan selama hampir seperapat abad lamanya.

Kilas balik berawal di tahun 1325. Ketika itu ia hanyalah seorang anak muda berusia 21 tahun, enggan meninggalkan orang tuanya untuk melakukan ibadah haji pertamanya di kota Mekkah, sekitar 3.000 mil ke arah timur. Ia lalui jarak sejauh 3000 mil tersebut, bahkan berlanjut pada perjalanan panjang lainnya sejauh 72.000 mil! Biasanya peziarah haji pasti akan langsung pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Apalagi saat itu tak lazim bagi siapapun pergi dari rumahnya untuk kurun waktu yang sangat lama.

Ketika Ibnu Battuta memulai penjelajahannya, barulah 125 tahun kemudian para penjelajah Eropa seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama dan Magellan mulai berlayar. Tak heran ketika saat ia pulang ke kampung halamannya, kedua orang tuanya telah wafat tanpa kehadirannya. Namanya sendiri, dimata khalayak ramai telah terkenal sebagai penjelajah abad ini sesampainya di Tangier.

Penjelajah bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-Tanji ini lahir di kota Tangiers, Maroko pada 24 Februari 1304. Dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam, Ibnu Battutah justru membenamkan diri pada ilmu-ilmu fikih dan sastra Arab. Keilmuan yang mendukungnya untuk sebuah penjelajahan seperti astronomi ataupun kelautan lainnya, bisa dikatakan tidak ada sama sekali.
Setiap penjelajah pasti memiliki alasan untuk berkelana menembus samudera dan daratan luas. Marco Polo adalah seorang pedagang dan Columbus sejatinya seorang petualang. Ibnu Battuta justru seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis. Perjalanan haji pertamanya justru mendorongnya untuk memahami begitu luasnya dunia ciptaan-Nya. Hatinya tergerak untuk memulai sebuah penjelajahan terbesar yang ada saat itu.

Sejarawan Barat, George Sarton, mengagumi jarak sejauh 72.000 mil melalui lautan dan daratan yang dilakukan Ibnu Battuta. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco Polo dan penjelajah manapun sebelum datangnya teknologi mesin uap. Ahli sejarah lainnya seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake dan Magellan.

Seluruh kisah perjalanannya dikisahkan kembali oleh Ibnu Battuta dan ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al Asfar(Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan).
Perjalanan Penuh Kisah. Ibn Battuta jelas merupakan penjelajah yang luar biasa. Perjalanan yang ditempuhnya meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, Cina dan negara muslim lainnya. Ia selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik dan sosial dari setiap negeri yang disinggahinya. Ia berhasil merekam seperti apa wajah peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan.

Nyatanya, ia satu-satunya penjelajah besar yang mengilustrasikan tiap tempat yang dikunjunginya dengan irama berpuisi. Sentuhan sastranya bisa dirasakan lewat deksripsinya mengenai kota Kairo pada tahun 1326; “aku bertamu di Kairo, ibunda dari kota-kota dan kursi Fir’aun sang tirani, sang nyonya empunya wilayah luas nan subur, bangunan-bangunan tak ada batasnya, tak tertandingi akan kecantikan dan keanggunannya, tempat bertemu para pendatang dan pulang, tempat perhentian yang lemah dan kuat, dimana berbondong-bondong manusia menyerbu laiknya gelombang laut, dan semuanya tertampung dalam ukuran dan kapasitasnya”.

Perjalanan perdana Ibnu Battuta dimulai ketika menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325. Ia bersama jamaah Tangiers lainnya menempuh keringnya hawa laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.

Kota Alexandria menjadi kota pertama yang disinggahinya. Tak lama ia mampir ke Kairo untuk memulai perjalanan menuju Mekkah. Dari Kairo, Ibnu Battuta melewati rute yang melalui kota Yerusalem, Aleppo dan Damaskus, bersama karavan rombongan haji menuju Mekkah. Rombongan ini terdiri dari kaum Muslim, kaya dan miskin, terpelajar dan biasa saja, tentara, pedagang dan cendekiawan. Semuanya pergi bersama-sama tanpa ada yang membanggakan status sosialnya.

Di setiap kota sepanjang perjalanan, mereka selalu dijamu, tempat berteduh dan keramahtamahan penduduk kota. Kebaikan terhadap tamu Allah SWT yang telah mentradisi dalam masyarakat Muslim Arab, memudahkan bagi Ibnu Battuta, untuk menempuh perjalanan dengan bekal uang seadanya.
Ia tiba di Mekkah pada bulan Oktober 1326. Selama di kota suci, ia bertemu dengan jamaah dari berbagai negeri. Setiap orang yang ditemui Ibnu Battuta selalu menarik perhatiannya. Hingga, ia memutuskan untuk membatalkan kepulangannya ke Tangiers dan memulai pengembaraannya menjelajahi dunia.

Pada tahun 1330, Ibnu Battuta memulai pelayaran pertamanya. Ia baru saja berumur 27 tahun dan telah menjadi penjelajah yang cukup berpengalaman. Perahu yang dinaikinya adalah Jalba, satu dari kapal laut melegenda di Laut Merah, terbuat dari bilahan papan yang diolesi minyak ikan hiu agar anti air.

Ketika itu ia berada di Jeddah, bersiap untuk embarkasi menuju Yaman dan pelabuhan Gujarati di India. Ia mendengar penguasa muslim di Delhi butuh orang-orang terpelajar untuk membantu administrasi kesultanannya. Sahabatnya, Mansur, mengajak Ibnu Battuta untuk berada diatas Jalba-nya, tetapi ia menolaknya, “berhubung kapalnya sudah dipenuhi dengan unta-unta, dan sejak aku belum pernah bepergian di atas laut, hal ini membuatku khawatir”.

Ia tepat untuk merasa khawatir. Baru dua hari berlayar, arah angin berubah dan kapal kecil ini terombang-ambing oleh gelombang laut tiada hentinya. Badai kian mendekat, buritan kapal mulai berdetam keras oleh gelombang laut, para pemunpang termasuk Ibnu Battuta mengalami mabuk laut. Kapal Jalba akhirnya bersauh di pantai, namun bukannya di Yaman, melainkan di arah seberangnya yaitu pesisir pantai Afrika di antara Aydhab dan Suakin.

Para musafir yang terdampar ini menyewa unta dan memulai perjalanan menuju arah selatan di Suakin. Penguasa disana adalah Zayd ibn Abi Numayy, anak dari gubernur kota Mekkah, yang ternyata saudara dari sahabatnya, Mansur. Perjalanan pulang mereka melewati Laut Merah yang meski rute pendek, bisa sulit sekali karena angin kerap berubah-ubah.

Ibnu Battuta akhirnya sampai di Ta‘izz, ibukota Yaman yang dikuasai dinasti Islam Rasuliyah. Dinasti ini terdiri dari elit militer Turki seperti dinasti Islam lainnya saat itu. Di kota Aden, ia menyaksikan sebuah kota terbesar dan terkaya yang pernah ada di pesisir Laut Hindia.

Penjelajahannya berlanjut menuju Somalia, pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambasa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Persia dan Pulau Dahrain. Di negeri Persia, Ibnu Battuta berkesempatan bertamu di kota Baghdad. Di kota ini ia menyaksikan sarana pemandian umum yang tak ada tandingannya di dunia. Setelah itu, Ibnu Battuta kembali ke kota Mekkah pada tahun 1332. Menaiki sebuah kapal Genoa, ia berlayar ke kota Alaya di pantai selatan Asia Kecil.

Usai melakukan perjalanan laut, pada tahun 1333 Ibnu Battuta melanjutkan pengelanaan lewat darat. Ia jelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad Uzbegh Khan di tepi sungai Wolga. Ia melanjutkan penjelajahannya hingga ke Siberia. Bahkan, ia sempat berniat menuju Kutub Utara, namun batal karena dingin cuaca daerah “Tanah Gelap”, sebutan wilayah yang tak pernah ada sinar matahari tersebut.

Pada 12 September 1333, setelah perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia dan Asia Tengah, Ibn Battuta akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi barat India yang dikuasai oleh Muhammad Shah II, penguasa Islam di Delhi.

Ibn Battuta sudah diberi uang saku oleh pedagang Irak ketika ia transit di kota Tikrit dan membawa 30 ekor kuda dan unta penuh dengan senjata panah untuk Sultan. Hadiah ini ternyata diterima Sultan Muhammad Shah II untuk keperluan kampanye militernya. Ibnu Battuta dihadiahi posisi sebagai Qadi di Delhi dengan gaji bulanan 12.000 dirham, dua rumah tinggal dan bonus 12.000 dinar. Hanya semalam saja, anak Tangiers ini berubah menjadi orang kaya mendadak.

Dua tahun kemudian, kekacauan mulai merebak di banyak wilayah. Tujuh tahun kemudian, pemberontakan mulai merebak dimana-mana. Ibnu Battuta melihat kesultanan Delhi mulai tak terkendali dan meminta ijin untuk berhaji ke kota Mekkah, satu-satunya cara halus untuk mundur dari jabatan. Pada menit terakhir, sultan memintanya untuk memimpin 15 orang perwakilan ke Cina dan beberapa kapal penuh hadiah kepada kaisar dinasti Yuan, Toghon Temur. Ibnu Battuta mengambil kesempatan berharga ini sambil memperoleh kesempatan mengunjungi negeri yang belum ia kunjungi ini.

Rombongan diplomatik ini berangkat pada akhir musim panas di tahun 1341 menuju pelabuhan Cambay. Namun mereka diserang dalam perjalanan oleh pemberontak Hindu yang menguasai daerah pedesaan India. Ibnu Battuta tertangkap, namun berhasil melarikan diri dan bergabung denga rombongan yang tersisa.

Kunjungannya ke negeri China begitu berkesan dalam dirinya. China ketika itu dikuasai oleh dinasti Yuan dari Mongol. Walaupun tidak beragama Muslim, dinasti Yuan sangat bergantung pada kemampuan pejabat dan penasehat militer Muslim dalam urusan perdagangan. Ibnu Battuta mencatat, dibawah dinasti ini, para pedagang Muslim memperoleh keistimewaan di sepanjang sungai-sungai dan kanal-kanal di seluruh wilayah kekaisaran Cina.

Ia akhirnya bertemu dengan kaisar Cina yang memiliki armada besar yang dibangun kekaisaran tersebut. Beruntungnya, Ibnu Battuta mendapat kesempatan menikmati kapal pesiar milik kaisar menuju kota Peking, ibukota kekaisaran. Meski begitu, walau ia begitu terpesona dengan kain sutera dan porselennya, China adalah satu-satunya negeri yang dikunjunginya yang membuat dirinya mengalami gegar budaya. Tetapi pada saat yang sama ia memuji China sebagai negeri teraman dan ternyaman di dunia bagi para penjelajah.

Bertamu di Serambi Mekkah. Sebelum memulai perjalanan ke China, Ibnu Battuta sempat mengunjungi wilayah Samudera Pasai atau Aceh. Dalam catatannya, ia menulis Samudera Pasai sebagai negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar yang indah. Dalam versi lainnya, ia menyebut pulau Sumatera sebagai “pulau Jawa yang menghijau”. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan.

Menurut Ibnu Battuta, saat itu Samuder Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara. Sultan Mahmud Mallik Zahir, penguasa Samudera Pasai dimata Ibnu Battuta sebagai seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya pun sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk sholat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai sholat, kata Ibnu Battuta, sang sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya

Selama 15 hari berada di Samudera Pasai, barulah ia melanjutkan perjalanan ke China. Penjelajah Arab dari Tangier ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Ia menuju kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1348. Lalu ia berhenti di kota Damaskus, menjenguk salah satu anaknya yang telah ia tinggalkan selama 20 tahun. Ternyata ia mengetahui bahwa sang anak telah wafat mendahuluinya sejak 15 tahun lalu.

Selama ia berada dalam penjelajahan, epidemik mematikan, The Black Plague sedang menyerang seluruh wilayah Timur Tengah. Di Kairo, Ibnu Battuta melaporkan korban tewas mencapai jumlah 21.000 jiwa, data yang turut diamini para sejarawan modern. Ia melewati kota-kota yang muram akibat wabah tersebut, namun ia selamat dari infeksi wabah ini.

Ketika ia sampai di Tangier pada tahun 1349, Ibnu Battuta mengetahui ibunya turut menjadi korban wabah The Black Plaque. Hari-harinya pun diisi dengan mengisahkan kembali perjalanan jauhnya bersama handai taulan dan teman dekatnya. Tak beberapa lama, ia mulai berangkat ke Spanyol. Tiga tahun setelahnya, ia memulai perjalanan terakhirnya, yaitu menuju kota Timbuktu, kota yang dianggap sebagai legenda oleh bangsa Eropa karena tak ada satupun orang Eropa yang pernah kesana. Pada tahun 1354, sang penjelajah besar ini di minta datang ke kota Fez oleh Sultan Abu Enan untuk membukukan kisah penjelajahan besarnya..

Anehnya, penjelajahan dunia Ibnu Battuta baru diketahui bangsa Barat setelah 300 tahun kemudian. Kitabnya berjudul Rihla (Perjalanan) ditemukan di Aljazair. Marco Polo mendiktekan pengalaman perjalanan bersama rekannya ketika berada di sel pada tahun 1296, kopi tulisan dari kisahnya telah menyebar hingga ke Eropa pada abad ke-15. Jika saja Ibnu Battuta memperoleh publisitas yang sama, namanya pasti sejajar, bahkan melebihi Marcopolo sebagai seorang penjelajah dunia.


sumber dari: efrialdy.wordpress.com

No comments:

Post a Comment