Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).

Monday 31 March 2014

pentingnya terhadap studi psikologi







Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan oleh Al-Razi. Rhazes—begitu orang Barat menyebut Al-Razi—telah menorehkan kemajuan yang begitu signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab yang ditulisnya, Al-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum mengenal dan menerapkan hal serupa, sebab waktu itu Eropa berada dalam era kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa kekhalifahan Abbasiyah itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia, dokter bedah terkemuka, Al-Zahrawi, alias Abulcasis memelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr alias Avenzoar, tercatat sebagai psikolog Muslim pertama yang mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes—ilmuwan Muslim termasyhur—telah mencetuskan adanya penyakit Parkinson.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan, turut menyumbangkan pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang menghubungkan antara peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar Muslim lainnya, Ibnu Sina alias Avicenna, dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine juga mengupas masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal Book of Optics dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni psikologi persepsi visual. Dialah ilmuwan pertama yang mengajukan argumen bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di mata. Al-Haitham menegaskan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang dilihat dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham juga adalah ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi sehingga terbentuklah psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak mengupas tentang persepsi visual termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan, persepsi warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon, menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia mencetuskan teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga mengakui Al-Biruni sebagai salah seorang perintis psikologi eksperimental lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya. Sayangnya, sumbangan yang besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu seakan tak pernah tenggelam ditelan zaman.



sumber dari: http://indo2.islamic-world.net/

Dokter Terhebat dari Zaman Keemasan







Bapak ilmu bedah eksperimental’‘ begitulah Ibnu Zuhr kerap dijuluki. Menurut Abdel-Halim (2005) dalam tulisannya bertajuk Contributions of Ibn Zuhr (Avenzoar) to the progress of surgery: A study and translations from his book Al-Taisir, dokter Muslim kelahiran Seville, Spanyol Islam, itu dianggap telah berjasa memperkenalkan metode eksperimental dalam ilmu bedah. Sang dokter pun tercatat sebagai dokter perintis yang memperkenalkan metode bedah manusia dan autopsi. ‘’Ibnu Zuhr adalah penemu prosedur bedah tracheotomy (leher),’‘ papar Abdel-Halim. Dokter terkemuka pada era kejayaan Islam di Spanyol itu juga berhasil mengungkap misteri penyebab kudis dan radang. Dialah dokter pertama yang meyakinkan eksistensi parasit lewat parasitologi.

Berkat sederet pencapaian yang berhasil ditorehkannya itu, para sejarawan sains pun menabalkan Ibnu Zuhr sebagai dokter Muslim terhebat di zaman keemasan Islam. Ia dianggap mampu melampaui prestasi yang dicapai dokter-dokter Muslim lainnya di dunia Islam. Ibnu Zuhr memosisikan dirinya sebagai seorang dokter spesialis yang fokus pada satu bidang kedokteran. Padahal, kala itu tenaga medis Muslim lebih memilih berpraktik sebagai dokter umum. Itulah yang menyebabkan Ibnu Zuhr mampu memproduksi karya-karya yang tetap termasyhur hingga era milenium baru. Terobosan dan temuan penting yang berhasil dicapainya dalam ilmu kedokteran itu dituliskannya dalam sebuah buku monumental berjudul Kitab al- Taisir fi al-Mudawat wa al-Tadbir (Book of Simplification concerning Therapeutics and Diet).

Kitab itu ditulis atas permintaan Ibnu Rushd alias Averroes. Inilah masterpiece yang dihasilkan Ibnu Zuhr. Dalam Kitab al- Taisir, Ibnu Zuhr memaparkan sederet kontribusi penting yang dihasilkannya dalam ilmu kedokteran. Buku itu mengupas beragam penyakit dan cara penyembuhannya. Ia juga menulis Kitab al- Iqtisad fi Islah al-Anfus wa al-Ajsad (Book of the Middle Course concerning the Reformation of Souls and the Bodies). Kitab itu berisi rangkuman beraneka jenis penyakit, pengobatan, dan pencegahannya. Buku itu pun dipandang sangat bernilai tinggi karena di dalamnya mengupas dan membahas kajian psikologi.

Ibnu Zuhr juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan dengan asupan gizi yang baik dan seimbang. Buah pikirannya itu dituliskannya dalam Kitab al-Aghthiya (Buku mengenai Bahan Makanan). Di buku itu, Ibnu Zuhr memerinci dan menjelaskan aneka jenis makanan dan obat-obatan serta dampaknya bagi kesehatan. Pemikiran dan penemuan yang berhasil diciptakannya begitu berpengaruh, baik di dunia kedokteran Barat maupun Timur selama beberapa abad. Buah pikir sang dokter itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Yahudi (Hebrew). Buku-buku yang ditulis Ibnu Zuhr itu masih populer dan menjadi rujukan sekolah kedokteran di Eropa hingga abad ke-18 M.

Sebagai perintis ilmu bedah eksperimental, Avenzoar julukan Ibnu Zuhr merupakan dokter pertama yang memanfaatkan binatang sebagai ‘kelinci percobaan’. Untuk bedah tracheotomy, misalnya, Ibnu Zuhr menyempurnakan prosedur bedahnya melalui uji coba pada seekor kambing. Ibnu Zuhr juga sempat melakukan percobaan pada seekor biri-biri ketika menangani penyakit paru-paru. ‘’Dia merupakan pendiri ilmu bedah yang independen dari bidang kedokteran,’‘ cetus Abdel-Halim. Secara khusus, dokter Muslim legendaris dari abad ke- 12 M itu memperkenalkan sebuah pusat pelatihan khusus bagi para calon dokter ahli bedah di masa depan.

Menurut Ibnu Zuhr, tak sembarang dokter bisa melakukan operasi atau bedah. Hanya dokter yang memenuhi syaratlah yang boleh melakukan operasi. Selain berjasa dalam bidang ilmu bedah eksperimental, Ibnu Zuhr turut berkontribusi dalam mengembangkan anatomi, fisiologi, etiologi, dan parasitologi. Ia adalah seorang dokter yang brilian. Ibnu Zuhr kerap mengkritisi berbagai karya kedokteran yang terdahulu, termasuk Kitab Qanun fi al-tib karya Ibnu Sina. Sang dokter legendaris ini pun membenarkan adanya darah dalam tubuh. Ibnu Zuhr juga merupakan dokter pertama yang mendirikan etiologi atau ilmu dalam kedokteran yang membahas penyebab dan asal mula penyakit. Etiologi dirintisnya saat meneliti penyakit radang telinga. Ia pun berperan dalam pengembangan ilmu anestesi. Berkat jasa Ibnu Zuhr dan Abu Al- Qasim Al-Zahrawi, Spanyol Islam tetap dikenal sebagai pengembang anestesi modern.

Kontribusi penting lainnya yang diwariskan Ibnu Zuhr bagi ilmu kedokteran modern adalah dalam bidang neurologi dan neurofarmakologi. Martin-Araguz dkk (2002) dalam bukunya bertajuk Neuroscience in al- Andalus and its influence on medieval scholastic medicine, mengungkapkan bahwa Ibnu Zuhr adalah dokter pertama yang menjelaskan gangguan pada syaraf, termasuk meningitis, intracranial thrombophlebitis, dan tumor. Menurut Martin-Araguz, Ibnu Zuhr juga turut mengembangkan neurofarmakologi modern. Ia tercatat dalam sejarah kedokteran sebagai dokter perintis yang menulis pharmacopoeia (buku daftar obat-obatan resmi). Sang dokter dari Spanyol Islam juga menerapkan sistem pengobatan dengan obat untuk menyembuhkan gejala dan penyakit tertentu.

Ibnu Zuhr dikenal sebagai dokter yang unik. Ia mengembangkan ilmu kedokteran yang berbasis pada riset dan percobaan ilmiah. Berkat sistem yang dikembangkannya itu, Ibnu Zuhr mampu menemukan beberapa penyakit yang tak diketahui sebelumnya, seperti penyakit paru-paru. Yang lebih memukau lagi, Ibnu Zuhr merupakan dokter yang menggunakan jarum suntik untuk memberikan makanan buatan bagi pasiennya. Studi penyakit lingkungan juga sangat menarik minat dan perhatiannya. Ketika wabah penyakit melanda kota Marrakech, Ibnu Zuhr turun langsung ke lapangan melakukan penelitian dan memberikan pertolongan. Ia merupakan dokter perintis dalam berbagai hal. Dalam mengembangkan sesuatu yang baru dalam ilmu kedokteran, Ibnu Zuhr selalu tampil sebagai penemu.

Sang dokter dari Spanyol Islam itu lagi-lagi tercatat sebagai yang pertama berhasil mengungkapkan nilai gizi yang terkandung dalam madu. Terobosan demi terobosan yang berhasil dikembangkannya membuat dokter-dokter lainnya kagum. Ibnu Rushd dalam bukunya Al-Kuliyat menyebut Ibnu Zuhr sebagai dokter terbesar setelah Galen. Dunia kedokteran sungguh telah banyak berutang budi dan pantas berterima kasih atas jasa dan kontribusi Ibnu Zuhr.



sumber dari: https://groups.yahoo.com/neo/

Pengobatan Jantung Ala Ibnu Zuhr







Dunia medis mencatat penyakit jantung merupakan menyebab nomor wajhid kematian di belahan dunia. Pada 2002, penyakit jantung telah menyebabkan 17 juta kasus kematian di dunia. Penyakit ini masih tetap menjadi ''mesin pembunuh'' yang harus terus diwaspadai. Pada 2020 mendatang, para ahli memperkirakan, kematian akibat penyakit jantung akan mencapai 20 juta kasus.

Dunia kedokteran Islam telah mengenal dan menguasai penyakit jantung sejak 900 tahun silam. Menurut Rabie E Abdel-Halim dan Salah R Elfaqih dalam karyanya bertajuk ''Pericardial Pathology 900 Years Ago: A Study and Translations from an Arabic Medical Textbook,'' dunia medis Islam di era kekhalifahan sudah menguasai ilmu pengobatan penyakit jantung.


Menurut Abdel-Halim, dokter Muslim yang sudah mengkaji dan mengasai pengobatan penyakit jantung di zaman keemasan Islam adalah Ibnu Zuhr (1091-1161 M). Berdasarkan hasil kajian dari Kitab al-Taysir, karya dokter Muslim legendaris dari Andalusia itu, para sejarawan sains menemukan fakta bahwa Ibnu Zuhr sudah menguasai pengobatan pericarditis.

Pericarditis merupakan penyakit peradangan pada pericardium (kantong yang mengelilingi jantung). Pericarditis dapat menyebabkan cairan menumpuk di dalam pericardium dan menekan jantung, membatasi kemampuan jantung untuk mengisi dan memompa darah.

Ibnu Zuhr membahas dan mengkaji pengobatan tentang pericarditis dalam kitab berbahasa Arab yang berjudul Kitab al-Taysir fi al-Mudawat wal Tadbir. Kitab itu terdiri dari dua volume dalam satu edisi. Kajian tentang pericarditis dikupas sang dokter dalam bab khusus bertajuk Dhikru amradh al-qalb.

Dalam kitab itu, Ibnu Zuhr telah menyebutkan adanya fenomena penumpukan cairan yang membuat kemampuan jantung menjadi terbatas. Ibnu Zuhr menyebut cairan itu sebagai Dhikru al-Ruttubah allati Ta'ridd fi Ghisha al-Qalb.

Dalam kitab kedokterannya, Ibnu Zuhr meletakkan pembahasan penyakit jantung, setelah penyakit paru-paru dan sebelum penyakit hati. Menurut Abdel-Halim dan Elfaqih, Ibnu Zuhr membuka kajiannya tentang penyakit jantung dengan sebuah pernyataaan, "Penyakit jantung dapat menyebabkan organ-organ lain menderita.''

Ibnu Zuhr membahas berbagai penyakit jantung dimulai dengan tawarrum (pembengkakan), ikhtilaj (deyutan) dan khafaqan (debaran). Sang dokter membahas ketiganya dalam judul yang terpisah. Setelah membahas ketiga masalah jantung itu, Ibnu Zuhr lalu membahas tentang pericarditis.

"Pembahasan mengenai pericarditis merupakan karya tertua dari empat manuskrip yang ditulisnya," ujar Abdel-Halim. Hal itu juga dibahas oleh Al-Khoori M dalam karyanya Kitab Al-Taysir Fi Al-Mudawat wa-'l-Tadbir by Marwan Ibn Zuhr.

Menurut Halim dan Elfaqih, masalah pericarditis diterjemahkan dari halaman 183 dan 184 dari Kitab al-Taysir. Berikut penjelasan Ibnu Zuhr tentang pericarditis, ''Kumpulan cairan dapat menutupi jantung: Di jantung, dapat terjadi penumpukan cairan yang mirip urine. Cairan itu ditemukan menutupi jantung. Kejadian ini bisa menyebabkan kematian pada pasien.''

Ibnu Zuhr menuturkan, perawatan terhadap kondisi itu belum pernah dijelaskan dokter mana pun sebelumnya, termasuk Galen. Ia lalu mencari solusi untuk mengobati penyakit pericarditis itu dengan caranya sendiri. ''Pengobatan aromatik dengan cairan, tonik dan pelembab berkualitas, mungkin bermanfaat,'' tutur Ibnu Zuhr.

Selain itu, Ibnu Zuhr juga menawarkan pengobatan lainnya dengan memakan apel atau minum susu segar yang diperoleh dari kambing muda serta mandi dengan air yang hangat. Ia juga menawarkan pengobatan dengan menggunakan sirup "Rayhan" atau sirup dari Cendana. Sang dokter juga menginstruksikan pasiennya untuk secara teratur menghirup aroma segar.

''Jika dokter menunda (perawatan) bahkan untuk waktu yang singkat, pasien akan mati karena jantung merupakan salah satu organ vital,'' tuturnya. Sejatinya, Ibnu Zuhr tidak hanya menjelaskan jenis-jenis pericarditis yang serius, namun juga secara akurat memotret temuannya mengenai penyakit dalam fibrinous pericarditis.

Menurut DeBono DP dalam karyanya berjudul Diseases of the Cardiovascular System," penjelasan Ibnu Zuhr tentang cairan yang menutup pericardium seperti ''air urine'' sangat sesuai dengan temuan kedokteran modern. "Ini, juga, menunjukkan bahwa ia telah melihat dan mengamati kumpulan cairan yang belum pernah diperoleh kecuali oleh pericardiocentesis atau bedah mayat."

Ibnu Zuhr tampaknya telah melakukan bedah jantung, karena mampu menjelaskan tentang "zat padat yang terkumpul di dalam jantung yang menutupi lapisan atas dari lapisan membran". Abdel-Halim dalam karyanya berjudul Pediatric Urology 1000 Years Ago mengungkapkan, Kitab al-Taysir Ibnu Zuhr mengikuti skema al-Razi (Rhazes, 841-926 M) dalam mengklasifikasi penyakit menurut organ terpengaruh.

Setiap bab dimulai dengan definisi kolektif dan klasifikasi utama penyakit yang diikuti dengan ringkasan dari organ yang normal dan abnormal, menganalisis struktur asal dari gangguan penyakit. kemudian membahas gambar klinis, diferensial diagnosa dan prognosa.

"Selain itu, ia mengkritisi tinjauan pandangan orang dahulu dari pengalamannya sendiri," jelas Neuburger M dalam karyanya History of Medicine. Dalam penjelasannya, Ibnu Zuhr menyatakan bahwa jantung merupakan sebuah organ vital yang pokok dan utama. Dunia Islam telah menyumbangkan begitu banyak penemuan bagi dunia kedokteran modern.



sumber dari: http://zilzaal.blogspot.com/

Pengobatan Ala Nabi Tak Bertentangan dengan Pengobatan Modern





Saat ini, pengobatan alami sangat digemari masyarakat. Mereka memilih herbal ketimbang obat-obatan kimia. Thibbun nabawi yang bersifat alami pun kemudian menjadi daya tarik masyarakat.
Namun, tak sedikit pula yang salah mengartikan thibbun nabawi merupakan segala obat dari Arab. Atau, thibbun nabawi sama dengan praktik alternatif.

Perlu diketahui, segala jenis thibbun nabawi merupakan yang pernah disebutkan oleh Rasulullah saja. Jika kemudian muncul obat dari bahan alami, tapi tak pernah disebut Rasulullah, itu bukan bagian dari thibbun nabawi. Meski khasiatnya mujarab setelah diuji penelitian, jika tak pernah disebut oleh Rasulullah, itu bukan bagian dari wahyu yang diyakini sepenuhnya bermanfaat sebagai obat.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan, pengobatan ala Nabi diyakini mendatangkan kesembuhan karena bersumber dari wahyu, sedangkan pengobatan yang lainnya kebanyakan berdasarkan praduga dan eksperimen.

Kendati demikian, bukan berarti Muslimin tak diizinkan menggunakan obat-obatan modern. Hanya saja, thibbun nabawi hendaknya selalu diutamakan. Ibnul Qayyim dalam "Thibbun Nabawi" mengatakan, para tabib sepakat ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan, jangan beralih pada obat-obatan kimia. Ketika memungkinkan mengonsumsi obat yang sederhana, jangan beralih memakai obat yang kompleks.
"Mereka para tabib mengatakan setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan dan tindakan preventif tertentu, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan," ujarnya.

Selain itu, Muhammad juga diutus sebagai Rasul, bukan tabib. Meski Rasulullah menganjurkan banyak obat, dia bukanlah peracik obat. Rasulullah hanya menyampaikan wahyu dan memberikan suri teladan bagi Muslimin. Sahabat Saad menceritakan, suatu hari ia menderita sakit, kemudian Rasulullah menjenguknya. "Rasulullah meletakkan tangannya di dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau," ujar Saad.

Rasulullah pun kemudian bersabda, "Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan, hendaknya dia (al-Harits) mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya," hadis riwayat Abu Dawud.

Dalam ilmu kedokteran modern, thibbun nabawi pun tidaklah bertentangan dengan pengobatan modern. Justru dalam sejarah, ilmu kedokteran modern merupakan perkembangan yang tak luput dari thibbun nabawi. Warisan ilmu thibbun nabawi dari Rasulullah diabadikan dalam kumpulan hadis oleh Imam Bukhari dalam kitab At-Thibb An-Naby. Kitab tersebut berisi lebih dari 80 hadis yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Kedelapan puluh hadis tersebut membicarakan ilmu kedokteran modern, seperti embriologi, anatomi, fisiologi, dan patologi. Pada masa perkembangan Islam, mulai bermunculan penerjemahan buku kedokteran dari Persia, Yunani, dan India. Metode yang ada kemudian dibersihkan dari unsur harap dan memadukannya dengan metode pengobatan Islami, yaitu metode pengobatan ala Nabi.

Ilmu kedokteran pun makin berkembang seiring kemajuan dunia Islam. Sekolah dan rumah sakit berdiri, dokter-dokter Muslim pun lahir, di antaranya Ibnu Sina. Ia menghasilkan kitab terbaik dalam sejarah ilmu kedokteran bertajuk Al Qonun fith Thibb (Canon of Medicine).
Buku ini menjadi rujukan utama para dokter di Eropa. Tak hanya Ibnu Sina, banyak dokter Muslim lain, seperti Ibnu Maimun yang mengembangkan ilmu kedokteran jiwa, Kahin al-Aththor sang ahli farmasi, Ibnu Zuhr dan al-Quff yang mengembangkan ilmu kedokteran, dan masih banyak lagi.

Namun, ketika masa kejayaan Islam mulai runtuh, Eropa menguasai dunia. Karya-karya Islam diakui sebagai karya Eropa. Namun, Muslimin hanya berdiam diri menerima pahit kemunduran dunia Islam. Bangsa Barat pun kemudian mengembangkan hasil karya para Muslim hingga ilmu kedokteran begitu maju sampai kini. Benar ucapan Imam asy-Syafii atas kelalaian Muslimin tersebut. "Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.



sumber dari: http://www.sasak.net/m/

Sunday 30 March 2014

Khwarizmi Festival





Official: 30 Percent Rise in Foreign Participation in Khwarizmi Festival


A senior science ministry official announced a 30 percent rise in the number of foreign scientific projects nominated for the 27th International Khwarizmi Festival awards.

“A total of 126 projects from 38 foreign countries have been sent to the festival which shows a 30 percent rise in the presence of foreign scientists in the festival as compared with the previous event,” Deputy Minister of Science, Research and Technology and Head of Iran's Research Organization for Science and Technology Ahmad Akbari said, addressing the 27th International Khwarizmi Festival in Tehran on Sunday.

He said that Iranian scientists residing abroad have also sent their works to the festival and are present in the event.

“788 projects in different areas have been presented to the festival and the selected foreign projects have been from Hungary, Germany, China and Australia,” Akbari said.

The 27th International Khwarizmi Festival opened in the conference hall of the Organization of the Islamic Cooperation (OIC) in Tehran on Sunday.

In 1987, the leading Iranian Research Organization for Science and Technology (IROST), affiliated to the ministry of Science, Research and Technology, decided to institute an award to acknowledge outstanding achievements in the field of Science and Technology.

IROST proposed the creation of the Khwarizmi Award in memory of Abu Jafar Mohammad Ibn Mousa Khwarizmi, the great Iranian Mathematician and Astronomer (770-840 AD).
The first festival of the Khwarizmi Award, in 1987, called on the Iranian nationals to present their outstanding contribution, invention or innovation.



sumber dari: http://english.farsnews.com/

Al-jabr wa'l Muqabalah







Al-Khwarizmi, Persian mathematician - We have algebra thanks to him (c. 780 to 850 AD)

Mohammed al-Khwarizmi gave us the words (and techniques of) algebra and algorithms. He was a scholar at The House of Wisdom in Baghdad and brought together ideas from Babylon, India and Greece.

Two of al-Khwarizmi's most influential books were Al-jabr wa'l Muqabalah, which gave its name to algebra, and Al-Khwarizmi on the Hindu Art of Reckoning, from which we get the word algorithm (based on his name).

He helped bring the idea of zero into mathematics; although a symbol for zero had been introduced by the Babylonians, it was Indian mathematicians who had started using it as a number in the 6th century.



sumber dari: http://www.physics.org/interact/

ROLE AND CONTRIBUTION AL-Khwarizmi






Contribution in the form of the work of which is:

1. Al-Jabr wa'l Muqabalah:
he has created and tangens secans use in the investigation trigonometry and astronomy.

2.Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah:
He has submitted examples of math problems and suggests 800 problems most of which are issues raised by Neo. Babylian in the form of allegations that have been proven to be true by al-Khwarizmi.

3.Sistem Number:
He has introduced the concept of nature and he was important in the systems number today. His work on this one contains Cos, Sin and Tan in solving trigonometric equations, theorems and calculations isosceles triangle area of the triangle, square and circle in geometry.
Many other concepts in mathematics that have been introduced al-khawarizmi. The field of astronomy also made famous al-Khwarizmi. Astronomy can be interpreted as a science Falaq [the knowledge of the stars, which involves the study of the position, movement, and the thoughts and commentaries related to the star].

Person al-Khwarizmi

Al-Khwarizmi's personality has been recognized by the Islamic and Western world. This can be proved that unlicensed G. Sarton said that "the highest achievements have been obtained by the Eastern people ...." In this case Al-Khwarizmi. Another character, Wiedmann said .... "Al-Khwarizmi has personality and a firm who devotes his life to the world of science."

Some branches of science in Mathematics which was introduced by al-Khwarizmi such as: geometry, algebra, arithmetic and others. Geometry is the second branch of mathematics. The contents of the compounds discussed in this second branch is the origin of geometry and its main reference is the Kitab al-Ustugusat [The Elements] Euklid works: geometry derived in terms of language than the Greek words namely 'geo' which means earth and 'metri' means the measurement . In terms of science, geometry is the science that examines matters related to the magnitude and the properties of space. Geometry was studied since the time of the pharaohs [2000SM]. Then Thales of Miletus introduced the Egyptian geometry to Greece as a science in the period of the 6th century BC. Onwards the Islamic scholars have perfected the rules of science education is primarily on ke9M century.

Algebra / algebra is a mathematical pulse. The work of Al-Khwarizmi was translated by Gerhard of Gremano and Robert of Chaster into European languages in the 12th century. before the appearance of the work entitled 'al-Jibra Hisab wa al Muqabalah written by al-Khwarizmi in 820M. Before this there was no term algebra.



sumber dari: http://earthsgreatesthits.blogspot.com/

the father of computer science




ibn Musa al-Khwarizmi was a Persian mathematician, astronomer, astrologer geographer and a scholar in the House of Wisdom in Baghdad. He was born in Persia of that time around 780. Al-Khwarizmi was one of the learned men who worked in the House of Wisdom. Al-Khwarizmi flourished while working as a member of the House of Wisdom in Baghdad under the leadership of Kalif al-Mamun, the son of the Khalif Harun al-Rashid, who was made famous in the Arabian Nights. The House of Wisdom was a scientific research and teaching center.

Noteworthy, though, is his development of the algorithms in the same field ofmathematics. Since, in computer science, these form the basis for primary calculations, he has therefore been termed as the father of computer science. His discovery of this kind of mathematics has been used in many computer science calculations and discoveries.

Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi was a member of the house of Wisdom in Baghdad where he contributed most of his findings and research. The house of wisdom was merely a center where research into scientific issues was done. It also conducted some teaching activities there. Interestingly, this man has also been linked to the success of modern day algebra. He based most of his works on findings that had been written by scientists and mathematicians who lived before him. But the constant studies and discoveries in mathematics have been used as the foundation for many scientific discoveries.


标题Muhammad <wbr>Ibn <wbr>Musa <wbr>Al-Khwarizmi, <wbr>The <wbr>Father <wbr>of <wbr>Algebra

Al-Khwarizmi confined his discussion to equations of the first and second degrees. He also wrote an important work on astronomy, covering calendarscalculating true positions of the sun, moon and planets, tables of sines and tangents, spherical astronomy, astrological tables, parallax and eclipse calculations, and visibility of the moon. His astronomical work, Zij al-sindhind, is also based on the work of other scientists. As with the Algebra, its chief interest is as the earliest Arab work still in existence in Arabic.

In an attempt to take his mathematical skills further, Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi also made some calculations about the position of the moon. As if that was not enough, his calculations even went as far as including the position of the sun and planets. The calendars and the features of it that portray the accuracy of counting days in a year are also attributed to him and his calculations. Many of the works he did in this area were later picked up by scientists who lived after him for further development and refinement.

His most recognized work as mentioned above and one that is so named after him is the mathematical concept Algorithm. The modern meaning of the word relates to a specific practice for solving a particular problem. Today, people use algorithms to do addition and long division, principles that are found in Al-Khwarizmi’s text written over 2000 years ago. Al-Khwarizmi was also responsible for introducing the Arabic numbers to the West, setting in motion a process that led to the use of the nine Arabic numerals, together with the zero sign.

标题Muhammad <wbr>Ibn <wbr>Musa <wbr>Al-Khwarizmi, <wbr>The <wbr>Father <wbr>of <wbr>Algebra

Al-Khwarizmi made several important improvements to the theory and construction of sundials, which he inherited from his Indian and Hellenistic predecessors. He made tables for these instruments which considerably shortened the time needed to make specific calculations.



sumber dari: http://blog.sina.com.cn/

Arab and Islamic Astronomy






During the period when Western civilization was experiencing the dark ages, between 700-1200 A.D., an Islamic empire stretched from Central Asia to southern Europe. Scholarly learning was highly prized by the people, and they contributed greatly to science and mathematics. Many classical Greek and Roman works were translated into Arabic, and scientists expanded on the ideas. For instance, Ptolemy's model of an earth-centered universe formed the basis of Arab and Islamic astronomy, but several Islamic astronomers made observations and calculations which were considerably more accurate than Ptolemy's. Perhaps the most fascinating aspect of Islamic astronomy is the fact that it built on the sciences of two great cultures, the Greek and the Indian. Blending and expanding these offen different ideas led to a new science which later profoundly influenced Western scientific exploration beginning in the Renaissance.
  
Purposes of Islamic Astronomy

Perhaps the most vital reason that the Muslims studied the sky in so much detail was for the purpose of time-keeping. The Islamic religion requires believers to pray five times a day at specified positions of the sun. Astronomical time-keeping was the most accurate way to determine when to pray, and was also used to pin-point religious festivals. 

The Muslim holy book, the Koran, makes frequent reference to astronomical patterns visible in the sky, and is a major source of the traditions associated with Islamic astronomy.
Another important religious use for astronomy was for the determination of latitude and longitude. Using the stars, particularly the pole star, as guides, several tables were compiled which calculated the latitude and longitude of important cities in the Islamic world. Using this information, Muslims could be assured that they were praying in the direction of Mecca, as specified in the Koran.

Aside from religious uses, astronomy was used as a tool for navigation. The astrolabe, an instrument which calculated the positions of certain stars in order to determine direction, was invented by the Greeks and adopted and perfected by the Arabs (see picture below).

The sextant was developed by the Arabs to be a more sophisticated version of the astrolabe. This piece of technology ultimately became the cornerstone of navigation for European exploration.
Astrolabe
  
Great Islamic Astronomers

Science was considered the ultimate scholarly pursuit in the Islamic world, and it was strongly supported by the nobility. Most scientists worked in the courts of regional leaders, and were financially rewarded for their achievements. In 830, the Khalifah, al-Ma'muun, founded Bayt-al-Hikman, the 'House of Wisdom', as a central gathering place for scholars to translate texts from Greek and Persian into Arabic. These texts formed the basis of Islamic scientific knowledge.

One of the greatest Islamic astronomers was al-Khwarizmi (Abu Ja'far Muhammad ibn Musa Al-Khwarizmi), who lived in the 9th century and was the inventor of algebra. He developed this mathematical device completely in words, not mathematical expressions, but based the system on the Indian numbers borrowed by the Arabs (what we today call Arabic numerals). His work was translated into Latin hundreds of years later, and served as the European introduction to the Indian number system, complete with its concept of zero. Al-Khwarizmi performed detailed calculations of the positions of the Sun, Moon, and planets, and did a number of eclipse calculations. He constructed a table of the latitudes and longitudes of 2,402 cities and landmarks, forming the basis of an early world map.

Another Islamic astronomer who later had an impact on Western science was al-Farghani (Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani). In the late 9th century, he wrote extensively on the motion of celestial bodies. Like most Islamic astronomers, he accepted the Ptolemaic model of the universe, and was partially responsible for spreading Ptolemaic astronomy not only in the Islamic world but also throughout Europe. In the 12th century, his works were translated into Latin, and it is said that Dante got his astronomical knowledge from al-Farghani's books.

In the late 10th century, a huge observatory was built near Tehran, Iran by the astronomer al-Khujandi. He built a large sextant inside the observatory, and was the first astronomer to be capable of measuring to an accuracy of arcseconds. He observed a series of meridian transits of the Sun, which allowed him to calculate the obliquity of the ecliptic, also known as the tilt of the Earth's axis relative to the Sun. As we know today, the Earth's tilt is approximately 23o34', and al-Khujandi measured it as being 23o32'19". Using this information, he also compiled a list of latitudes and longitudes of major cities.

Omar Khayyam (Ghiyath al-Din Abu'l-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami) was a great Persian scientist, philosopher, and poet who lived from 1048-1131. He compiled many astronomical tables and performed a reformation of the calendar which was more accurate than the Julian and came close to the Gregorian. An amazing feat was his calculation of the year to be 365.24219858156 days long, which is accurate to the 6th decimal place!

Western science owes a large debt to Islamic and Arab scientists, whose contributions range from the Arabic names of stars which we still use today to the mathematical and astronomical treatices used by Europeans to enter our modern world of science.
sumber dari: http://www.starteachastronomy.com/

Friday 28 March 2014

Ibn Battuta Google Doodle VIDEO




Google celebrates the 708th birthday of Ibn Battuta with six Doodles.





sumber dari: http://doodlesnews.blogspot.com/

tour of Ibn Battuta's medieval travels




Welcome to this tour of Ibn Battuta's medieval travels. You will be following in the footsteps of this famous 14th century Muslim traveler, exploring the places he visited and the people he encountered. To help you learn more about his adventures there will be images of the people and places he saw, information on the food he might have tasted, and "side trips" into the past and future.
Ibn Battuta started on his travels when he was 20 years old in 1325. His main reason to travel was to go on a Hajj, or a Pilgrimage to Mecca, as all good Muslims want to do. But his traveling went on for about 29 years and he covered about 75,000 miles visiting the equivalent of 44 modern countries which were then mostly under the governments of Muslim leaders of the World of Islam, or "Dar al-Islam". [See the map below.]
He met many dangers and had many adventures along the way. He was attacked by bandits, almost drowned in a sinking ship, was almost beheaded by a tyrant ruler, and had a few marriages and lovers and fathered several children on his travels!
Near the end of Ibn Battuta's own life, the Sultan of Morocco insisted that Ibn Battuta dictate the story of his travels to a scholar and today we can read translations of that story called "Rihla - My Travels."
This is a map of the Muslim World about 1300. Ibn Battuta mainly traveled to countries with Muslim governments in the areas inside the black border marking the Dar al-Islam. Beyond that, Muslim traders had already ventured out into China, Indonesia and further, and had established small Muslim communities in many regions of the world. Ibn Battuta would seldom be far from fellow Muslims on his travels, and he would greatly benefit from the charity and hospitality offered to Muslim travelers and pilgrims.





sumber dari: http://ibnbattuta.berkeley.edu/

Animated Aventure







Ibn Battuta tells the tale of a legendary and famous traveler from the 14th century – Ibn Battuta. This entertaining 3D series shows the adventures, dangers, and beautiful locations that this adventurer visited.

Ibn Battuta’s travels will take to exotic locations such as Asia Minor, Northern Africa, India, Mesopotamia, and even China, covering about 75,000 miles all around the “Muslim World”. The legend says that he even surpass the famous European adventurer – Marco Polo. Like Ibn Battura says “It’s never possible to travel the same road twice” and this i show his story begins.



sumber dari: http://latinmediacorp.net/en/

Ibn Battuta on the big, big screen




London - For many Muslims worldwide, the name Ibn Battuta evokes a sense of great pride and conjures up a golden era of Islamic history. The Rihla, one of the greatest travel journals ever recorded, has been greatly responsible for passing on the tales of the 14th century explorer who followed the sun and stars to reach Mecca.

In the past year, this 700-year-old story made the transition to the big screen, shown at over 12 IMAX theatres in locations around the world. Journey to Mecca: In the footsteps of Ibn Battuta is mostly shot on a set in Morocco and combines dramatic performances with documentary footage to re-tell a classic adventure.

The British Film Institute recently put on a special screening of the film at their London IMAX theatre to mark Eid ul-Adha. Prior to the screening, the film's producer Jonathan Barker spoke to the audience filled with Ibn Battuta enthusiasts and explained his vision behind the film, which was "to celebrate a well known Muslim hero" and to "provide a better understanding of a historical figure that is unknown to many non-Muslims."

Those who cherish the timeless tale of Ibn Battuta's exploration will find that the film successfully captures the essence of his travels to the holy city of Islam–a physical journey that emulates the spiritual one in search of the divine through enlightenment and knowledge.

Filmed in a format that displays images that are greater in size and resolution than conventional film systems, IMAX creates a unique visual experience that is larger than life. The dramatic scenes of desert landscapes and breathtaking moving aerial shots take the viewer on a journey alongside Ibn Battuta, from Tangier to Mecca. It even brings to life his reoccurring dream of "flying to Mecca." Scenes of the "valley of death", the caravan community en route from Damascus to Mecca and the modern day Hajj, the pilgrimage to Islam's holiest sites in Mecca, remain unforgettable and etched on the mind.



Journey_to_Mecca_-_In_the_footsteps_of_Ibn_Battuta



sumber dari: http://www.commongroundnews.org/

the greatest traveller of the age





Ibn Battuta - L.P. Harvey


Ibn Battuta was famous in his own lifetime during the 14th Century as the greatest traveller of the age. He traversed the whole Islamic world (from his native Tangier to China), and crossed over its boundaries in Europe and sub-Saharan Africa. He was variously attacked by pirates, shipwrecked, marooned and kidnapped. His observations on political power, and on legal, commercial and cultural practices in the numerous places that he visited. give his Travels an enduring fascination. 
 
This narrative of high adventure rivals, or even surpasses, the explorations of Battuta's near contemporary, Marco Polo. Told with hum our, irony and pathos, his travelogue is filled with marvels which blend idealism with reality. L. P. Harvey reviews Ibn Battuta's journeys and discusses the major themes of the Travels. He examines the financing of Ibn Battuta's adventures; how geography and natural history are presented by him; how the Travels engage with issues of race and gender; and the religious milieu through which Ibn Battuta moved. Harvey's account of the traveller reveals the vivid portrait of a man with his fair share of human failings, but who was nonetheless remarkable for his courage, unbounded curiosity, and for the candor and skill with which he reported on the world as he had found it.



sumber dari: http://us.macmillan.com/ibnbattuta/LHarvey

The Adventures of Ibn Battuta





The Adventures of Ibn Battuta, a Muslim Traveler of the Fourteenth Century


This Study Guide consists of approximately 38 pages of chapter summaries, quotes, character analysis, themes, and more - everything you need to sharpen your knowledge of The Adventures of Ibn Battuta, a Muslim Traveler of the Fourteenth Century.



sumber dari: http://www.bookrags.com/

The Travels of Ibn Battuta





The Travels of Ibn Battuta


In 1326, Ibn Battuta began a pilgrimage to Mecca that ended 27 years and 75,000 miles later. His engrossing account of that journey provides vivid scenes from Morocco, southern Russia, India, China, and elsewhere. "Essential reading . . . the ultimate in real life adventure stories." -- "History in Review."



sumber dari: http://www.bookdepository.co.uk/

"Pelopor Ilmu Embriologi Modern"







"Pelopor Ilmu Embriologi Modern", begitulah dokter Muslim terkemuka di abad ke-13 itu dijuluki. Sejatinya ia memiliki nama lengkap Amin al-Dawla Abu al Faraj ibnu Muwaffaq al-Din Ya‘qub ibnu Ishaq Ibnu al-Quff. Ia dilahirkan di Karak, sekitar 10 mil sebelah timur Laut Mati (sekarang Yordania) tahun 630 H/ 1233 M.

Sang dokter Muslim dari abad ke-13 M ini, tak hanya berhasil membuktikan adanya hubungan antara pembuluh darah arteri dan vena, serta proses sirkulasi darah. Ibnu Al-Quff juga menjelaskan masalah embrilogi modern sesuai dengan yang tercantum dalam Alquran.

Ezzat Abouleish dalam karyanya Contributions of Islam to Medicine, menjelaskan  Ibnu al-Quff mengembangkan embriologi. Menurut Abouleish ,penjelasan al-Quff tentang embriologi dan perinatologi dalam karyanya berjudul al-Jami  terbukti lebih akurat.

“Pembentukan awal adalah sebuah buih yang merupakan tahap enam sampai tujuh hari pertama, pada hari ke- 3 hingga 16 secara bertahap membentuk gumpalan dan pada hari ke-28 sampai 30 menjadi sebuah gumpalan kecil daging. Pada hari ke-38 sampai 40, kepala muncul terpisah dari bahu dan lengan. Otak dan jantung yang diikuti dengan hati terbentuk sebelum organ lainnya,”  papar  Ibnu al-Quff seperti dikutip Abouleish.

Al-Quff menambahkan bahwa janin mengambil makanan dari ibunya untuk tumbuh. Ia menambahkan, ada tiga selaput yang  menutupi dan melindungi janin. Pertama menghubungkan pembuluh darah arteri dan vena dengan sesuatu di rahim ibunya melalui tali pusar.

“Melalui pembuluh vena, janin bayi mendapatkan makanan untuk kebutuhan nutrisinya. Sementara pembuluh arteri membawa udara,” tutur al-Quff. Pada akhir bulan ketujuh, lanjut al-Quff, semua organ telah selesai. Setelah kelahiran, tali pusar bayi dipotong pada jarak empat jari luasnya dari badan, dan terikat dengan baik, dengan benang wol yang lembut.

Wilayah yang dipotong ditutupi dengan filamen/kawat pijar basah dalam minyak zaitun dengan sebuah obat penahan darah untuk mencegah pendarahan yang menetes. “Setelah kelahiran, bayi dirawat oleh ibunya dengan air susu ibu (ASI)  yang merupakan nutrisi paling baik.

Kemudian bidan meletakkan bayi tidur dalam kamar gelap yang tenang. Menyusui bayi dilakukan dua sampai tiga kali setiap hari. Sebelum menyusui, payudara ibu harus ditekan dua atau tiga kali untuk membuang susu yang ada dekat puting susu,” papar al-Quff.



sumber dari: http://www.republika.co.id/

al-Umdah fi Shina'ah al-Jarahah







Ibnu  al-Quff adalah ilmuwan muslim di bidang kedokteran yang memiliki nama lengkap Amin al-Dawla Abu al Faraj ibnu Muwaffaq al-Din Ya‘qub ibnu Ishaq Ibnu al-Quff. Beliau dilahirkan di Karak, sekitar 10 mil sebelah timur Laut Mati (sekarang Yordania) tahun 630 H atau 1233 M.  Selain menguasai kedokteran, dia juga  ahli dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat. Setelah menyelesaikan studinya, dia ditetapkan sebagai dokter bedah tentara.

Ibnu al-Quff termasuk murid spesial Ibnu Nafis. Salah satu karya penting Ibnu al-Quff adalah al-Umdah fi Shina'ah al-Jarahah. Sebuah karya yang menyinggung pembedahan dapat dikatakan sebagai karya langka di masa itu. Buku itu membahas berbagai metode pembedahan kecuali optik.  Masalah optik tidak dimasukkan dalam buku Ibnu al-Quff karena optik di masa itu dapat dikatakan sebagai kajian tersendiri dari masalah-masalah kedokteran lainnya. Pembahasan dalam buku itu begitu detail dan rinci, karena dibahas dalam 20 bab tersendiri.

Buku itu menunjukkan betapa Ibnu al-Quff tak hanya menguasai  anatomi, penyakit-penyakit, dan pengobatannya, dan beberapa jenis operasi bedah. Ibnu al-Quff juga memiliki taraf pengetahuannya yang luar biasa dan menunjukkan tingkat penguasaannya sebagai dokter terkemuka  pada abad ke 13 M. Hampir 700 tahun lalu, Ibnu al-Quff menulis secara bab lengkap mengenai obat yang digunakan untuk meredakan rasa sakit saat pembedahan dan menjelaskan cara penggunaan opium (Afune), hyoscine dan atropine alkaloids (Al-Banj).

Di bidang ilmu bedah, Ibnu al-Quff melakukan banyak hal. Karena itulah ia dikenal sebagai ahli bedah. Ibnu al-Quff adalah seorang ilmuwan muslim yang produktif. Ia menulis sejumlah buku yang membahas beberapa aspek ilmu kedokteran, filsafat dan ilmu alam.

Tak hanya itu, Ibnu al-Quff merupakan salah satu di antara ilmuwan Muslim hebat dengan penemuan pentingnya tentang  hubungan jantung dengan sistem vascular (pembuluh darah). Dia pertama kali membuktikan hubungan antara pembuluh darah arteri dan vena, untuk menjelaskan pembuluh kapiler dan membahas katup jantung dan fungsinya.

Ibnu al-Quff tercatat sebagai dokter perintis  yang mampu menghubungkan antara pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena di seluruh bagian tubuh. Di abad ke-13 M, ia telah mampu menjelaskan keberadaan  pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang menghubungkan pembuluh arteri dan pembuluh vena dan membentuk jaringan.

Fakta dan kebenaran yang ditemukan Ibnu al-Quff itu baru diketahui dokter di Eropa empat abad kemudian. Marcello Malpighi, anatomis  asal Italia (1628-1694) menemukan kembali pencapaian Ibnu al-Quff dengan bantuan mikroskop.
Ibnu al-Quff merupakan orang pertama yang menjelaskan hubungan pembuluh darah arteri dan vena dengan aliran darah dari awal ke akhir pada pembuluh kapiler tipis  yang  ''tidak bisa dilihat dengan mata telanjang''. Arteri mengalirkan darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh pada sebuah jaringan berakhir pada arteri kecil dari awal pembuluh vena.

Dia juga tercatat sebagai dokter yang pertama kali menjelaskan fisiologi katup jantung, jumlahnya dan petunjuk di mana saat katup tersebut terbuka dan tertutup. Katup jantung tertentu terbuka ke dalam untuk membolehkan masuk dan mencegah keluar aliran darah, dan lainnya terbuka keluar untuk membolehkan keluar dan mencegah masuknya aliran darah. Penemuannya yang luar biasa inilah yang membawanya memiliki ketenaran yang abadi. Eropa mempelajari tentang pembuluh kapiler yang tipis dan hubungan antara vena dan arteri hanya setelah penemuan mikroskop powerful di abad ke-17 M. Eropa menemukan mikrosof kapiler 400 tahun setelahnya. Bukunya diterjemahkan kedalam bahasa Latin setelah kematiannya.

Sang dokter Muslim dari abad ke-13 M ini, tak hanya berhasil membuktikan adanya hubungan antara pembuluh darah arteri dan vena, serta proses sirkulasi darah. Ibnu Al-Quff juga menjelaskan masalah embrilogi modern sesuai dengan yang tercantum dalam Alquran. Beliau juga disebut-sebut sebagai "Pelopor Ilmu Embriologi Modern."

Ezzat Abouleish dalam karyanya Contributions of Islam to Medicine, menjelaskan  Ibnu al-Quff mengembangkan embriologi. Menurut Abouleish, penjelasan al-Quff tentang embriologi dan perinatologi dalam karyanya berjudul al-Jami  terbukti lebih akurat.

Mohadzab al-Dien Dakhwar juga disebut-sebut sebagai ilmuwan di bidang kedokteran. Dakhwar adalah dokter yang beraktivitas di abad ketujuh di Mesir dan Suriah. Sebelum tutup usia, Dakhwar membuat akademi kedokteran. Akademi itu diresmikan pada tahun 628 HQ yang bertahan hingga 820 HQ.

Ilmuwan muslim juga menulis banyak karya di bidang kedokteran mata atau optik. Hampir semua pakar kedokteran di masa itu menganggap masalah optik sebagai kajian terpisah dari masalah-masalah kedokteran lainnya. Para dokter mata muslim melakukan banyak inovasi. Selain mempelajari berbagai problema mata dan pengobatannya, para ilmuwan muslim di bidang optik juga mengkaji kendala-kendala mata dan pengobatannya secara independen.

Ibn Masawayh dan muridnya yang bernama Hunayn bin Ishaq, menulis risalah-risalah terkait optik. Bahkan mereka mampu mengidentifikasi sejumlah penyakit yang belum dikenal sebelumnya. Buku Hunayn bin Ishaq terkait optik berjudul "al-Ashr Maqalaat fi al Ain atau Sepuluh Makalah Soal Mata." Sejumlah penyakit seperti radang mata berhasil ditemukan oleh Hunayn bin Ishaq. Pakar optik muslim ini juga melakukan berbagai inovasi di bidang metode ilmu bedah.

Ilmuwan muslim lainnya yang juga berperan besar di bidang optik adalah Ali bin Isa. Dalam bukunya yang terkenal, Tadzkirah al-Kahalin (Pedoman Optalmologi), Ali bin Isa mengunngkap 130 penyakit mata. Ammar Mousuli juga disebut-sebut pakar medis di bidang mata yang melakukan riset di bidang mata.  Beliau juga menulis risalah yang mengkaji 48 penyakit mata. Dalam risalahnya, Ammar Mousoli mengeluarkan katarak dari mata dengan jarum.

Di abad keenam dan ketujuh hijriah, banyak dokter muslim yang mengkaji secara independen. Di Kairo, Fath al-Din al-Qaysi yang wafat 657 Hq juga disebut-sebut sebagai dokter terkenal  yang mempersembahkan karya luar biasa di bidang optik. Risalah terpentingnya al-Qaysi adalah kajian khusus terkait mata. Dalam risalahnya, al-Qaysi membahas fisiologi mata, kendala, indikasi dan penyembuhan gangguan mata. Bahkan sejumlah masalah belum pernah disinggung ilmuwan-ilmuwan sebelumnya.

Di Damaskus, Ibnu Abi Masawayh juga mempunyai banyak karya terkait mata. Bahkan beliau dikenal sebagai pakar mata di masanya. Ibnu Abi Masawayh juga beraktivitas di rumah-rumah sakit Damaskus. Bukunya yang terkenal berjudul Uyun al-Anba' fi al-Tabaqat al-Atiba'. Dalam buku itu,  Ibnu Abi Usaibah menjelaskan 380 ilmuwan dan dokter muslim.

Dengan demikian, banyak dokter mata musim yang mampu mengidentifikasi penyakit mata dan menyembuhkannya. Sadaqah ibn Ibrahim al-Shadhili juga termasuk dokter mata yang mempersembahkan banyak karya yang berharga. Shadhili dalam bukunya jutga menjelaskan penyakit-penyakit mata dan sejumlah contoh operasi mata.

Ilmuwan muslim juga menguasai kedokteran hewan. Fuat Sezgin, pakar kedokteran hewan asal Turki, mengulas ilmuwan-ilmuwan dan dokter muslim yang menggeluti kedokteran hewan. Bahkan sejumlah karya ilmuwan dan dokter muslim terkait  kedokteran hewan, masih ada hingga kini.

Di abab kelima hijriah, pengaruh pendapat dan metode kedokteran ilmuwan muslim mulai merambah di benua Eropa. Buku ilmuwan muslim yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Latin adalah karya Hunayn bin Ishaq yang berjudul al-Masa'il fi al-Tib. Buku itu dalam bahasa Latin berjudul Isagoge. Hingga abad ketujuh hijriah, sejumlah karya muslim lainnya seperti Razi, Ibnu Sina dan lain-lain diterjemahkan ke bahasa Latin.

Karya-karya lainnya yang diterjemahkan ke bahasa Latin adalah karya Ibnu al-Jazzar, buku al-Kuliyat karya Ibnu Rushd dan karya al-Zahrawi yang mengulas metode-metode operasi. Buku al-Zahrawi sangat populer di Eropa.

Di abad kesepuluh, bangsa Eropa menggandrungi  kedokteran di dunia Islam. Di abad ke-12 hijriah atau abad ke-18 masehi, buku al-Razi diterjemahkan ke bahasa Latin.

Bersamaan dengan itu, dunia kedokteran mengalami kelesuan. Hal yang sama juga dialami kedokteran di dunia Islam. Di tengah kelesuan dunia kedokteran hanya sejumlah ilmuwan dan dokter yang bermunculan. Di antaranya adalah Baha al-Daulah Mohammad Hossein Mir Qawwam Nourbakhs. Beliau menyampaikan poin-poin penting kedokteran seperti penyakit-penyakit dalam tubuh. Meskipun banyak buku kedokteran yang tersebar di Mesir, Suriah, Iran dan anak benua India, tapi tidak ada inovasi khusus.



sumber dari: http://indonesian.irib.ir/