Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, nama-nama seperti Umar bin  Khattab, Mu‘tazilah, Najmuddin al-Tufi, Syatibi sering dicatut oleh  sebagian pemikir liberal untuk diproyeksikan sebagai pioneer liberalisme dan sekularisme di dunia Islam. Proses ideologisasi turats seperti ini jelas hanya bertujuan pragmatis: mereka sekedar ingin  memberitahu publik bahwa ide liberal-sekuler yang mereka kembangkan itu  tidak asing dalam khazanah intelektual Islam; bahwa ide sekularisme dan  liberalisme seolah-olah lahir dan berkembang dari rahim peradaban Islam.
Perlakuan  ideologis seperti inilah yang kerap diterima oleh Ibn Rusyd dalam  diskursus Islam saat ini. Tokoh asal Cardova ini bahkan “diposisikan”   sebagai pemikir Muslim pertama yang menanamkan serta menyebarkan benih  rasionalisme, liberalisme, dan sekularisme dalam ranah pemikiran Islam.  Gambaran seperti ini dapat dibaca pada karya-karya pemikir Arab-Muslim  saat ini seperti ‘Atif al-‘Iraqi, Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd,  Arkoun dan lain-lain. Klaim mereka tersebut biasanya mereka dasarkan  pada sikap kritis yang ditunjukkan oleh Ibn Rusyd pada al-Ghazali dan  mutakallimun, baik Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyyah, seperti yang dapat  dibaca dari karya agungnya Tahafut al-Tahafut dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, juga pada posisi yang ditawarkan pada Fasl al-Maqal terkait dengan hubungan Syari’at (Agama) dan Filsafat.
Mereka menyatakan, sayang ide-ide liberal dan brilian Ibn Rusyd ini  hanya dinikmati oleh Barat, sementara di dunia Islam ia malah  dimarginalkan. Akibatnya dunia Islam mundur, sementara berhasil maju  mencapai puncak kegemilangan peradabannya. Jika Umat Islam ingin maju  mengejar ketertinggalannya, maka mereka harus mengembalikan ruh (spirit)  Averroeisme sebagaimana yang dilakukan oleh Barat. Karena hanya ruh  inilah yang sesuai dengan semangat zaman kita saat ini. (Abid al-Jabiri,  Nahnu wa al-Turath, hal. 49).  Nasr Hamid Abu Zayd juga  berseru: “Kita membutuhkan Ibn Rusyd untuk memmecahkan krisis peradaban  dan intelektual kita dan untuk membolehkan kita berpartisipasi membangun  peradaban manusia saat ini.” (Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa al-Ta’wil, hal. 26-27).
Demikian,   kedua pemikir itu seolah-olah “menjerit” mengharapkan pertolongan Ibn  Rusyd untuk bangkit dari kubur dan menyelesaikan masalah yang dihadapi  umat Islam saat ini.
sumber dari: mpiuika.wordpress.com

No comments:
Post a Comment