Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).

Thursday 12 December 2013

Kembali pada Pintu Agama




Diduga sakit jiwa, Ocim tewas usai terjun dari menara BTS


Membicarakan 'sampah' terkadang seperti terdengar tak etis, atau malah terkesan jorok dan menjijikkan. Selain sampah-sampah material sisa konsumsi manusia, sering kita tak menyadari adanya sampah immaterial dalam diri kita. Sampah pikiran sebagai entitas kekotoran hati manusia ini pun sangat berbahaya. Masyarakat kita sendiri kini sedang mengalami ancaman bahaya akibat sampah immaterial yang menggunung di mana-mana. Inilah suatu refleksi kebobrokan mental manusia dalam bentuk kekotoran (sampah) pikiran.


Jika kita sedikit kritis, bukankah perilaku seks bebas di kalangan remaja kita itu perilaku sampah? Bukankah tawuran antar-kelompok itu adalah tindakan sampah? Bukankah menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk menindas rakyat yang lemah itu adalah sampah? Bukankah menghambur-hamburkan uang rakyat untuk plesiran ke luar negeri itu juga sampah? Dan, masih banyak lagi sampah pikiran yang menggerogoti moralitas manusia.

Jika direnungkan secara lebih mendalam, sumber utama sampah-sampah pikiran yang bertebaran di berbagai dimensi kehidupan adalah hati manusia. Sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad SAW, manakala segumpal daging yang bernama hati itu kotor maka seluruh tubuh juga akan menjadi kotor. Hati yang kotor menjadi sumber utama sehingga menimbulkan kekotoran dalam hidup. Soal hati manusia, kaitannya tentu saja dengan nafsu manusia. Dengan potensi nafsu ini, seringkali pikiran atau akal yang jernih - juga hati yang bersih - dengan mudahnya tergilas oleh nafsu serakah manusia. Dengan nafsu yang tidak terkendali, manusia sering terjerumus dalam perilaku amoral.

Seorang filsuf muslim dari Spanyol, Avempace (Ibnu Bajjah) dalam pemikirannya mengenai Fenomenologi Jiwa, membedakan perbuatan atau tindakan manusia itu dari sisi pendorong atau motif manusia dalam melakukan sesuatu. Manusia setiap akan melakukan sesuatu tak pernah lepas dari motif naluri atau hal-hal yang berhubungan dengannya. Naluri manusia di sini bukanlah hati, melainkan nafsu. Nafsu sangat berkaitan dengan hasrat manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia selama tindakannya itu mengandung unsur-unsur hasrat, itulah nafsu.

Hati yang kotor penuh sampah jelas akan menimbulkan nafsu liar, nafsu yang tiada kenal norma dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, apakah nafsu pada manusia perlu dihentikan dan dibunuh eksistensinya? Apakah dengan menghilangkan nafsu tersebut kemudian segalanya akan membaik? Tentu saja 'tidak!' Karena, Tuhan memberikan nafsu kepada manusia tidaklah percuma dan sia-sia. Hakikat semua ciptaan-Nya, tiada yang 'dibuat' tanpa maksud dan kegunaan.


Tanpa nafsu, manusia tentu tidak akan berkembang dan tidak akan mampu menghasilkan kehidupan yang dinamis. Tanpa nafsu, manusia hanyalah seonggok daging yang lemah. Maka, dengan nafsunya itu sudah semestinya manusia melahirkan bermacam peradaban dan kebudayaan melalui kreativitasnya. Kreativitas manusia sebagai hasil dorongan nafsu yang diselaraskan dengan akal dan hati, kemudian melahirkan kebudayaan, dan melahirkan peradaban. Jadi, nafsu adalah potensi manusia yang tidak mesti dibunuh. Lebih tepatnya, nafsu-nafsu dalam diri kita mesti dikendalikan.



sumber dari: suarakarya-online.com

No comments:

Post a Comment