Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).
Showing posts with label Ibnu Haitham. Show all posts
Showing posts with label Ibnu Haitham. Show all posts

Monday, 31 March 2014

pentingnya terhadap studi psikologi







Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan oleh Al-Razi. Rhazes—begitu orang Barat menyebut Al-Razi—telah menorehkan kemajuan yang begitu signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab yang ditulisnya, Al-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum mengenal dan menerapkan hal serupa, sebab waktu itu Eropa berada dalam era kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa kekhalifahan Abbasiyah itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia, dokter bedah terkemuka, Al-Zahrawi, alias Abulcasis memelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr alias Avenzoar, tercatat sebagai psikolog Muslim pertama yang mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes—ilmuwan Muslim termasyhur—telah mencetuskan adanya penyakit Parkinson.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan, turut menyumbangkan pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang menghubungkan antara peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar Muslim lainnya, Ibnu Sina alias Avicenna, dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine juga mengupas masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal Book of Optics dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni psikologi persepsi visual. Dialah ilmuwan pertama yang mengajukan argumen bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di mata. Al-Haitham menegaskan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang dilihat dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham juga adalah ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi sehingga terbentuklah psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak mengupas tentang persepsi visual termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan, persepsi warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon, menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia mencetuskan teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga mengakui Al-Biruni sebagai salah seorang perintis psikologi eksperimental lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya. Sayangnya, sumbangan yang besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu seakan tak pernah tenggelam ditelan zaman.



sumber dari: http://indo2.islamic-world.net/

Tuesday, 25 March 2014

Inventions in the Islamic World







Islamic Astronomy: Astronomical instruments

Muslim astronomers developed a number of astronomical instruments, including several variations of the astrolabe, originally invented by Hipparchus in the 2nd century BCE, but with considerable improvements made to the device in the Muslim world. These instruments were used by Muslims for a variety of purposes related to astronomy, astrology, horoscopes, navigation, surveying, timekeeping, Qibla, Salah, etc.

Astrolabes
Brass astrolabe by Muhammad al-Fazari in the 8th century.
Earliest surviving astrolabe in 315 AH (927-928 CE).
Mechanical geared astrolabe by Ibn Samh (c. 1020).
Navigational astrolabe was invented in the Islamic world. It employed the use of a polar projection system.
In the 10th century, al-Sufi first described over 1000 different uses of an astrolabe, including uses in astronomy, astrology, horoscopes, navigation, surveying, timekeeping, Qibla, Salah, etc.
Orthographical astrolabe by Abu Rayhan al-Biruni in the 11th century.
Saphaea, a universal astrolabe for all latitudes, by Abu Ishaq Ibrahim al-Zarqali (Arzachel) in 11th century Islamic Spain.
Zuraqi, a heliocentric astrolabe where the Earth is in motion rather than the sky, by al-Sijzi in the 11th century.
Linear astrolabe ("staff of al-Tusi") by Sharaf al-Din al-Tusi in the 12th century.

Analog Machines (or Computers)
Equatorium by Abu Ishaq Ibrahim al-Zarqali (Arzachel) in Islamic Spain circa 1015.
Planisphere by Abu Rayhan al-Biruni in the 11th century.
Mechanical lunisolar calendar computer with gear train and gear-wheels by Abu Rayhan al-Biruni.
Fixed-wired knowledge processing machine by Abu Rayhan al-Biruni.
Mechanical astrolabe with calendar computer and gear-wheels by Abi Bakr of Isfahan in 1235.
Oldest surviving complete mechanical geared machine by Abi Bakr of Isfahan in 1235.
The Plate of Conjunctions, a computing instrument used to determine the time of day at which planetary conjunctions will occur,and for performing linear interpolation, invented by al-Kashi in the 15th century.
A mechanical planetary computer called the Plate of Zones, which could graphically solve a number of planetary problems, invented by al-Kashi in the 15th century. It could predict the true positions in longitude of the Sun and Moon, and the planets in terms of elliptical orbits;the latitudes of the Sun, Moon, and planets; and the ecliptic of the Sun. The instrument also incorporated an alhidade and ruler.

 Armillary spheres
Several different types of armillary spheres.
Celestial globes which could calculate the altitude of the Sun and the right ascension and declination of the stars in the 11th century.
The spherical astrolabe was first produced in the Islamic world by the 14th century.

 Mural instruments
The first quadrants and mural instruments by al-Khwarizmi in 9th century Baghdad, Iraq.
Sine quadrant for astronomical calculations by al-Khwarizmi in 9th century Baghdad.
Horary quadrant for specific latitudes by al-Khwarizmi in 9th century Baghdad.
The Quadrans Vetus, a universal horary quadrant which could be used for any latitude and at any time of the year to determine the time, as well as the times of Salah, invented by al-Khwarizmi in 9th century Baghdad. This was the second most widely used astronomical instrument during the Middle Ages after the astrolabe.
The Quadrans Novus, an astrolabic quadrant invented in Egypt in the 11th century or 12th century, and later known in Europe as the "Quadrans Vetus" (New Quadrant).
Almucantar quadrant, invented in the medieval Islamic world. It employed the use of trigonometry. The term "almucantar" is itself derived from Arabic.
Astronomical sextant by Abu-Mahmud al-Khujandi in Ray, Iran in 994.

Other instruments
Alhidade (the term "alhidade" is itself derived from Arabic).
Shadow square, an instrument used to determine the linear height of an object, in conjunction with the alidade for angular observations, invented by Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi in 9th century Baghdad.
Highly accurate astronomical clocks.
Astrometric device in Islamic Spain around 1015.
Star chart by Abu Rayhan al-Biruni in the 11th century.

 Aviation Technology

 Parachute
In 9th century Islamic Spain, Abbas Ibn Firnas (Armen Firnas) invented a primitive version of the parachute. John H. Lienhard described it in The Engines of Our Ingenuity as follows:

"In 852, a new Caliph and a bizarre experiment: A daredevil named Armen Firman decided to fly off a tower in Cordova. He glided back to earth, using a huge winglike cloak to break his fall. He survived with minor injuries, and the young Ibn Firnas was there to see it."

Hang glider
Shortly afterwards, Abbas Ibn Firnas built the first hang glider, which may have also been the first manned glider. Knowledge of Firman and Firnas' flying machines spread to other parts of Europe from Arabic references.

According to Philip Hitti in History of the Arabs:
"Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying."


 Flight controls
Abbas Ibn Firnas was the first to make an attempt at controlled flight. He manuipulated the flight controls of his hang glider using two sets of artificial wings to adjust his altitude and to change his direction. He successfully returned to where he had lifted off from, but his landing was unsuccessful.


Artificial wings
Ibn Firnas' hang glider was the first to have artificial wings, though the flight was eventually unsuccessful. According to Evliya Çelebi in the 17th century, Hezarfen Ahmet Celebi was the first aviator to have made a successful flight with artificial wings between 1630-1632.


Artificially-powered manned rocket
According to Evliya Çelebi in the 17th century, Lagari Hasan Çelebi launched himself in the air in a seven-winged rocket, which was composed of a large cage with a conical top filled with gunpowder. The flight was accomplished as a part of celebrations performed for the birth of Ottoman Emperor Murad IV's daughter in 1633. Evliya reported that Lagari made a soft landing in the Bosporus by using the wings attached to his body as a parachute after the gunpowder was consumed, foreshadowing the sea-landing methods of astronauts with parachutes after their voyages into outer space. Lagari's flight was estimated to have lasted about twenty seconds and the maximum height reached was around 300 metres. This was the first known example of a manned rocket and an artificially-powered aircraft.

Astronautics and space exploration
In the 20th century, Muslim rocket scientists from Soviet Central Asia were involved in research on astronautics and space exploration. Kerim Kerimov from Azerbaijan was one of the most important key figures in early space exploration. He was one of the founders of the Soviet space program, one of the lead architects behind the first human spaceflight (Vostok 1), and responsible for the launch of the first space stations (the Salyut and Mir series) as well as their predecessors (the Cosmos 186 and Cosmos 188).


 Camera technology

Ibn al-Haytham (Alhazen), the "father of optics" and pioneer of the modern scientific method, invented the camera obscura and pinhole camera.
In ancient times, Euclid and Ptolemy believed that the eyes emitted rays which enabled us to see. The first person to realise that rays of light enters the eye, rather than leaving it, was the 10th century Muslim mathematician, astronomer and physicist Ibn al-Haytham (Alhazen), who is regarded as the "father of optics".He is also credited with being the first man to shift physics from a philosophical activity to an experimental one, with his development of the scientific method. The word "camera" comes from the Arabic word qamara for a dark or private room.

Pinhole camera
Ibn al-Haytham first described pinhole camera after noticing the way light came through a hole in window shutters.[39]


 Camera obscura
Ibn al-Haytham worked out that the smaller the hole, the better the picture, and set up the first camera obscura, a precursor to the modern camera.

Chemical technology
Jabir ibn Hayyan (Geber), the father of chemistry, invented the alembic still and many chemicals, including distilled alcohol, and established the perfume industry.
Early forms of distillation were known to the Babylonians, Greeks and Egyptians since ancient times, but it was Muslim chemists who first invented pure distillation processes which could fully purify chemical substances. They also developed several different variations of distillation (such as dry distillation, destructive distillation and steam distillation) and introduced new distillation aparatus (such as the alembic, still, and retort), and invented a variety of new chemical processes and over 2,000 chemical substances.


 Chemical processes
Geber first invented the following chemical processes in the 8th century:
Pure distillation (al-taqtir) which could fully purify chemical substances with the alembic.
 

Filtration (al-tarshih)
Liquefaction, crystallization (al-tabalwur), purification, oxidisation, and evaporation (tabkhir).


Al-Razi invented the following chemical processes in the 9th century:
Dry distillation
Calcination (al-tashwiya).
Solution (al-tahlil), sublimation (al-tas'id), amalgamation (al-talghim), ceration (al-tashmi), and a method of converting a substance into a thick paste or fusible solid.
Other chemical processes introduced by Muslim chemists include:

Assation (or roasting), cocotion (or digestion), ceration, lavage, solution, mixture, and fixation.
Destructive distillation was invented by Muslim chemists in the 8th century to produce tar from petroleum.
Steam distillation was invented by Avicenna in the early 11th century for the purpose of producing essential oils.
Water purification 


Ahmad Y Hassan wrote:
"The distillation of wine and the properties of alcohol were known to Islamic chemists from the eighth century. The prohibition of wine in Islam did not mean that wine was not produced or consumed or that Arab alchemists did not subject it to their distillation processes. Jabir ibn Hayyan described a cooling technique which can be applied to the distillation of alcohol."

Laboratory apparatus
Alembic and still by Jabir ibn Hayyan (Geber) in the 9th century.
Retort by Jabir ibn Hayyan.
Thermometer and air thermometer by Abu Ali ibn Sina (Avicenna) in the 11th century.
Conical measure by Abu Rayhan al-Biruni in the 11th century.
Laboratory flask and pycnometer by Abu Rayhan al-Biruni.
Hydrostatic balance and steelyard by al-Khazini in 1121.
Muslim chemists and engineers invented the cucurbit and aludel, and the equipment needed for melting metals such as furnaces and crucibles.
Al-Razi (Rhazes), in his Secretum secretorum (Latinized title), first described the following tools for melting substances (li-tadhwib): hearth (kur), bellows (minfakh aw ziqq), crucible (bawtaqa), the but bar but (in Arabic) or botus barbatus (in Latin), tongs (masik aq kalbatan), scissors (miqta), hammer (mukassir), file (mibrad).
Al-Razi also first described the following tools for the preparation of drugs (li-tadbir al-aqaqir): cucurbit and still with evacuation tube (qar aq anbiq dhu-khatm), receiving matras (qabila), blind still (without evacuation tube) (al-anbiq al-ama), aludel (al-uthal), goblets (qadah), flasks (qarura or quwarir), rosewater flasks (ma wariyya), cauldron (marjal aw tanjir), earthenware pots varnished on the inside with their lids (qudur aq tanjir), water bath or sand bath (qadr), oven (al-tannur in Arabic, athanor in Latin), small cylindirical oven for heating aludel (mustawqid), funnels, sieves, filters, etc.

 Chemical industries
Chemical substances invented for use in the chemical industries include:

Sulfuric acid, originally coined as oil of vitriol when it was discovered by Jabir ibn Hayyan.
The mineral acids: nitric acid, sulfuric acid, and hydrochloric acid, by Geber.
Pure distilled alcohol (ethanol) by Jabir ibn Hayyan in the 8th century.
Uric acid and nitric acid by Jabir ibn Hayyan (Geber) in the 8th century.
Lustreware, by Geber in the 8th century.
Artificial pearl, purified pearl, dyed pearl, dyed gemstones, cheese glue, and plated mail, by Geber.
Kerosene and kerosene lamp by al-Razi in the 9th century.
Petrol by Muslim chemists.
Tar in the 8th century, and Naphtha in the 9th century.
Medicinal alcohol in the 10th century.
Essential oil by Abu Ali ibn Sina (Avicenna) in the 11th century.
Hygienic cosmetics by Muslim chemists.
Dyestuff by Muslim chemists.
Arsenic, alkali, alkali salt, rice vinegar, boraxes, potassium nitrate, sulfur and purified sal ammoniac by Geber.
Sal nitrum and vitriol by al-Razi.
Ethanol, sulfuric acid, ammonia, mercury, camphor, pomades, and syrups.
Lead carbonatic, arsenic, and antimony.
Nitric and sulfuric acids, alkali, the salts of mercury, antimony, and bismuth.
Aqua regia, alum, sal ammoniac, stones, sulfur, salts, and spirits of mercury.
At least 2,000 medicinal substances.
The classification of all seven classical metals: gold, silver, tin, lead, mercury, iron, and copper, by Geber.




sumber dari: http://metaexistence.org/inventions.htm

Thursday, 12 December 2013

Kemilau Ilmu Pengetahuan dari Andalusia






Filsafat

Pemikiran yang dihasilkan melalui bidang ilmu filsafat di era Dinasti Umayyah Spanyol menjadikan wilayah ini sebagai pusat pemikiran yang paling banyak didatangi berbagai pencinta ilmu setelah Baghdad. Salah satu aliran filsafat yang masyhur datang dari Ibnu Rushd (1126-1198) atau Averroes. Namanya dikenal terutama di kalangan Barat berkat pengembangannya dalam aliran filsafat sekuler. Ia bahkan dipandang dinilai sebagai bapak filsafat sekuler Eropa. Pemikirannya terutama memberikan pengaruh yang sangat besar di Eropa Barat. Konsep eksistensi mendahului esensi datang dari nama yang satu ini. Nama lainnya yang juga identik dengan filsafat dari Andalusia adalah Ibnu Tufail.

Ilmu bumi

Dari sekian penemuan yang dihasilkan pada masa Dinasti Umayyah Spanyol, apa yang dihasilkan Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ma'fudh pada abad ke-11 M di bidang ilmu bumi menjadi bukti perkembangan ilmu bumi masa itu. Penemuan optik Ibu Ma'fudh ini bahkan didokumentasikan dalam bentuk buku yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam berbagai berbagai bahasa seperti bahasa Latin dengan judul Liber de Crepisculis. Selanjutnya pakar biologi Andalusia, Abu al- Abbas al-Nabati mulai mengembangkan metode ilmiah botani pada awal abad ke-13 M.

Kerja kerasnya ini dikembangkan muridnya Ibnu al-Baitar hingga pemahaman mengenai ilmu botani pun menjadi lebih luas. Ia bahkan menuangkan pencapaiannya melalui kitab al- Jami fi al-Adwiya al-Mufrada yang diyakini sebagai salah satu kompilasi botani terbesar dalam sejarah. Ensiklopedi botani karya Al-baitar ini memuat 1.400 jenis tanaman dan 300 di antaranya merupakan temuannya sendiri. Pemikirannya lebih jauh sangat berpengaruh di Eropa.

Astronomi

Bidang astronomi mencapai puncak kejayaannya di era Kekhalifahan Umayyah Spanyol pada abad ke-11 dan 12 M. Adalah Ibnu Haitham seorang astronom asal Andalusia yang untuk pertama kalinya mengubah konfigurasi Ptolemeus. Astronom Andalusia lainnya Al-Zarqali alias Arzachel pada akhir abad ke-11 M bahkan menemukan bahwa orbit planet lebih merupakan edaran eliptik bukan edaran sirkular.

Nama Ibnu Rushd juga tercatat sebagai salah seorang ilmuwan yang turut menentang paham astronomi yang dikembangkan Ptolemeus. Penemuan astronomi penting lainnya tercatat atas nama Ibnu Bajjah yang mengusulkan konfigurasi Galaksi Bima Sakti. Ada pula Nur Ed-Din Al Betrugi alias Alpetragius yang mengusulkan model-model planet baru.

Teknologi

Masa kejayaan Islam di Spanyol turut ditandai dengan munculnya beragam teknologi. Hal ini sangat memungkinkan dengan dukungan pesatnya industri dan ilmu pengetahuan kala itu. Di antara hasil pengembangan teknologi yang digunakan yaitu teknologi kincir air dan angin di sejumlah pabrik kertas, pabrik baja, dan pabrik-pabrik pangan. Ada jugateknologi bendungan serta pengatur air untuk irigasi yang dikenal pada masa peradaban muslim Spanyol.

Pada masa yang sama pula Abbas Ibnu Firnas muncul sebagai penemu teknologi yang selanjutnya menjadi cikal-bakal pesawat terbang dan parasut. Teknologi di bidang kedirgantaraan di Andalusia ini menjadi yang pertama di dunia. Ibu Firnas juga yang menjadi inspirator kemungkinan umat manusia mampu menjelajahi angkasa.



sumber dari: klik-galamedia.com

Mengungkap Fakta Sejarah Ilmuan-Ilmuan Muslim






Saat ini, kita hidup di dunia yang serba digital dan teknologi yang canggih. Segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup kita, hampir semuanya berhubungan dengan teknologi dan sains. Kebanyakan masyarakat terutama para pelajar, beranggapan bahwasanya semua itu dapat terjadi karena jasa orang-orang Barat. Hal ini dikarenakan, dalam proses pembelajarannya di sekolah mereka selalu dikenalkan dengan nama orang-orang Barat sebagai penemu dari segala bidang ilmu pengetahuan dan sains tersebut. Padahal, semua  itu merupakan hal yang salah-kaprah. Sejarah keilmuan yang telah diajarkan kepada mereka telah didistorsi sedemikian rupa oleh orang-orang Barat. Mereka (orang-orang Barat) tak pernah mau mengakui dan bahkan menutup-nutupi kontribusi yang diberikan oleh ilmuan muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Selebihnya, mereka cenderung mengeklaim penemuan dan karya-karya ilmuan muslim sebagai penemuan dan hasil karyannya. Perlu diingat, sejatinya orang-orang islamlah yang pertama kali menemukan dan mengembangkan beragam ilmu pengetahuan selama ini. Selanjutnya, orang-orang Barat hanya belajar dari penemuan dan karya-karya para ilmuan muslim.

Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, akhirnya ketahuan juga bahunya. Mungkin, peribahasa inilah yang cocok dilontarkan kepada orang-orang Barat yang selalu berusaha menyembunyikan kebenaran sejarah para ilmuan muslim terhadap kaum muslim saat ini, tapi akhirnya terungkap juga.
Melaui buku Cara-cara Belajar Ilmuan-ilmuan Muslim Pencetus Sains-sains Canggih Modern ini, M. Yusuf Abdurrahman mampu mengungkap kebenaran sejarah para ilmuan muslim tentang kontribusinya yang telah disumbangkan kepada dunia Barat. Dalam hal ini, Abdurrahman mengutip pendapatnya Mehdi Nakosteen (1995) yang mengatakan beberapa kontribusi ilmuan-ilmuan muslim bagi dunia Barat, bahkan sanis modern, terdapat dalam bidang-bidang sebagai berikut: astronomi, matematika, fisika, kimia, ilmu hayat, kedokteran, filsafat, sastra, goegrafi dan sejarah, sosiologi dan ilmu politik, arsitektur dan seni rupa, serta musik (hlm. 16-22).

Di dalam buku ini, Abdurrahman juga menguak fakta dan realita tentang ilmu pengetahuan dan sains modern yang ada di lingkungan masyarakat kita saat ini. Maksudnya, ilmu pengetahuan dan sains yang faktanya ditemukan oleh ilmuan-ilmuan muslim lebih dahulu, kemudian penemuan tersebut menjadi inspirasi atau bahkan dikalim oleh orang-orang Barat pada beberapa tahun berikutnya.

Sekedar contoh, realita yang terjadi di masyarakat, terutama di lingkungan para pembelajar saat ini, pada abad-17, Isaac Newton menemukan bahwa sinar putih terdiri dari campuran pancaran sinar berwarna-warni. Faktanya, hal ini telah dikemukakan oleh Ibnu Haitham pada abad ke-11 dan Kamalludin pada abad ke-14 (hlm. 24). Di samping itu, mereka berdua juga menemukan kamera obscura yang kali pertama diperkenalkan di Barat oleh Joseph Kepler (1571 M-1630 M). Pada tahun 1827 M, kamera obscura ini mampu menginspirasi Joseph Nicephore Niepce di Prancis dalam menciptakan kamera permanen. Sekitar 60 tahun kemudian, George Eastman mengembangkan kamera yang lebih canggih pada zamannya. Sejak saat itulah, kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi hingga sekarang ini (hlm. 53).

Pada tahun 1206 M,  Ibnu Ismail al-Jazari telah mampu menciptakan robot manusia (humanoid) yang bisa diprogram, jauh sebelum Leonardo da Vinci dari Italia sanggup merancang robotnya pada tahun 1478 M, yang realitanya selama ini ia diklaim sebagai perintis robot pertama (hlm. 116).

Dalam bidang kedokteran, Az-Zahrawi (Abulcasis) mengarang kitab At-Tasrif. Kitab ini sangat terkenal, bahkan menjadi referensi orang-orang Barat selama berabad-abad lamanya. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Az-Zahrawi melalui kitab ini adalah mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Az-Zahrawi, seorang dokter yang baik harus melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosial.  Kemudian, ia juga sering mengingatkan agar para dokter untuk  berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi (hlm. 123). Mungkin, pesan ini patut untuk diperhatikan sekaligus dipraktekkan oleh para dokter di negara kita, yang dewasa ini sering mendapatkan cibiran dari masyarakat terkait dengan tarif yang mahal, pelayanan dan berbagai masalah lainnya.

Selain contoh di atas, sebenarnya masih banyak lagi ilmuan-ilmuan muslim yang dibahas di dalam buku Cara-cara Belajar Ilmuan-ilmuan Muslim Pencetus Sains-sains Canggih Modern ini, terkait tentang beberapa hasil karyanya dan aplikasi pemikiran serta gagasannya ke dalam kehidupan sekarang ini. Seperti; Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Ishak al-Kindi, Abu Nashr al-Farabi, Ibnu Nafis, Umar Khayyam, Ibnu Bajjah, Nashiruddin ath-Thusi, Ulugh Beigh dan Abu al-Fida.

Akhirnya, buku ini sangat menarik untuk disimak khususnya bagi para pembelajar karena di dalamnya terkandung banyak khazanah keilmuan yang baru, terutama dalam bidang IPTEK dan sains. Selebihnya, kehadiran buku ini diharapkan mampu membuka mata kita kembali yang selama ini telah tertutup kabut pembodohan sejarah oleh orang-orang Barat terhadap ilmuan-ilmuan muslim. Semoga kita semua dapat melanjutkan perjuangan spektakuler para ilmuan muslim tersebut. Amiin.



sumber dari: rimanews.com

Saturday, 16 November 2013

the Conics of Apollonius




image alt text

Photomontage : 
(a) Proofs and diagrams from the Arabic translation of the Conics of Apollonius, transcribed and drawn by Ibn al-Haytham himself (MS Aya Sofya, no. 2762, Istanbul); 
(b) Ibn al-Haytham (at left) and Galileo appear on the frontispiece of Selenographia, a 1647 description of the moon by Johannes Hevelius. The frontispiece presents the two scientists as explorers of nature by means of rational thought (ratione—note the geometrical diagram in Ibn al-Haytham's hand) and by observation (sensu—illustrated prominently by the long telescope in Galileo's hand). Photomontage by Bartek Malysa.



sumber dari: muslimheritage.com

Book of Optics





View of a spectacular laser effect. Ibn al-Haytham proved that light travels in straight lines in his famous Kitab al-manazir (Book of Optics), the most important book of optics before Kepler.



sumber dari: muslimheritage.com

Tuesday, 29 October 2013

Lost History




I have just finished reading "Lost History by Michael Hamilton Morgan" which enlightened me about the contributions of islamic thinkers to what scientific discoveries are oday. This is a must read for all kinds of people be it from Europe,Middle East  and other places to learn about the Islamic Empires contribution to science mathematics,astronomy etc.
 

9781426200922 Lost HistoryThe Enduring Legacy of Muslim Scientists, Thinkers, and Artists
Written by
http://www.randomhouse.com/acmart/catalog/results.pperl?authorid=74588 - Michael H. Morgan
National Geographic | Hardcover | June 2007
978-1-4262-0092-2 (1-4262-0092-7) | 320 pages
$26.00/$32.00 (Canada)

ABOUT THIS BOOK

In an era when the relationship between Islam and the West seems mainly defined by mistrust and misunderstanding, we often forget that for centuries Muslim civilization was the envy of the world. Essential reading for any student seeking to understand the major role played by the early Muslim world in influencing modern society, Lost History fills an important void. Written by an award-winning author and former diplomat with extensive experience in the Muslim world, it provides new insight not only into Islam's historic achievements but also the ancient resentments that fuel today's bitter conflicts.

Michael Hamilton Morgan reveals how early Muslim advancements in science and culture lay the cornerstones of the European Renaissance, the Enlightenment, and modern Western society. As he chronicles the Golden Ages of Islam, beginning in 570 a.d. with the birth of Muhammad, and resonating today, he introduces scholars like Ibn Al-Haytham, Ibn Sina, Al-Tusi, Al-Khwarizmi, and Omar Khayyam, towering figures who revolutionized the mathematics, astronomy, and medicine of their time and paved the way for Newton, Copernicus, and many others. And he reminds us that inspired leaders from Muhammad to Suleiman the Magnificent and beyond championed religious tolerance, encouraged intellectual inquiry, and sponsored artistic, architectural, and literary works that still dazzle us with their brilliance. Lost History finally affords pioneering leaders with the proper credit and respect they so richly deserve


sumber dari: allempires.com

Biologists, neuroscientists, and psychologists






sumber dari: kufarooq95.wordpress.com

Monday, 28 October 2013

Anatomi dan Fisiologi



Dalam anatomi dan fisiologi, doktor pertama yang menyabari teori humorisme Galen' adalah Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes) dalam Doubts berkaitan Galen pada abad ke-10. Dia mengkritik teori Galen bahawa badan memiliki empat "humor" (bahan cecair) yang berlainan, yang seimbangnya adalah kunci pada kesihatan dan sebuah tubuh yang mempunyai badan yang berdarjah biasa. Razi adalah yang pertama untuk membuktikan teori ini salah dengan menggunakan sebuah eksperimen. Dia menjalankan suatu eksperimen yang mana akan merosakkan sistem ini dengan memasuki suatu cecair dengan berlainan darjah ke dalam badan menyebabkan suatu ketambahan atau kekurangan panas badan, yang mewakili darjah pada cecair yang khusus itu. Razi menyatakan bahawa suatu minuman panas akan memanaskan badan ke suatu darjah yang lebih tinggi daripada darjah asalnya, oleh itu minuman akan trigger jawapan dari badan, daripada mengirimkan kepanasan atau kesejukan sendirinya pada itu. Garisan kritikan ini adalah refutasi bereksperimen berkefahaman yang pertama pada teori Galen pada humor dan teori elemen klasik empat Aristotle pada mana ia telah dilatarkan. Eksperimen kimia Razi sendiri bercadangkan kualiti-kualiti ciri, seperti "keminyakan" dan "kesulfuran", atau inflammability dan salinity, yang tidak diadakan penjelasan oleh bahagian elemen tradisional api, air, tanah dan udara.[40]

Anatomi dan fisiologi bereksperimen

Dari: Mansur ibn Ilyas: Tashrīḥ-i badan-i insān. تشريح بدن انسان. Manuskrip, ca. 1450, U.S. National Library of Medicine.

Sumbangan Ibnu Sina dalam bidang fisiologi termasuk pengenalan kepada ujikaji kuantitif dan bersistematik kedalam bidang fisiologi dalam Qanun Perubatan (c. 1020).[25] Sumbangan Ibn al-Haytham (Alhacen) dalam bidang fisiologi (physiology) dan anatomi termasuk penjelasannya yang betul mengenai proses penglihatan dan persepsi penglihatan bagi kali pertama dalam Buku Optik, diterbitkan pada 1021.[35]

Ciptaan lain yang diperkenalkan oleh pakar perubatan Muslim dalam bidang phisiologi pada masa ini adalah penggunaan ujian pada haiwan[35] dan bedah siasat manusia.[46]

Suymbangan Avicenna pada fisiologi termasuk pengenalan eksperimentasi dan kauntifikasi bersistem ke dalam kajian fisiologi dalam Qanun Perubatan (c. 1020).[25] Sumabangan Ibn al-Haytham (Alhacen) pada anatomi dan fisiologi termasuk penjelasan benar pada proses kelihatan dan tangkapan visual untuk kali pertama dalam Buku Optik, diterbitkan pada 1021.[35] Inovasi lain diperkenalkan oleh doktor Islam pada bidang fisiologi pada masa itu termasuk kegunaan pengujian haiwan[35] dan pembelahan manusia.[46]
Ibn Zuhr (Avenzoar) (1091-1161) adalah salah seorang doktor awal yang telah menjalankan pembelahan manusia dan autopsi postmortem. Dia membukti bahawa scabies penyakit kulit telah disebabkan oleh seekor parasit, suatu penemuan yang merosakkan teori humorisme disokong oleh Hippocrates and Galen. Pengalihan parasit dari badan pesakit tidak termasuk pencaharan, perdarahan, atau apa-apa rawatan tradisional lain berkaitan dengan empat humor.[43]

Pada abad ke-12, doktor kepada Saladin, al-Shayzari[46] dan Ibn Jumay, juga adalah di kalangan yang terawal untuk menyertai pembelahan manusia, dan mereka melakukan rayuan eksplisit untuk doktor lain untuk melakukannya juga. Sewaktu musim kemarau di Mesir pada 1200, Abd-el-latif memerhatikan dan memeriksa sebilangan besar rangka, dan dia mendapati bahawa Galen tidak benar mengenai pembentukan tulang pada bahagian bawah rahang dan sacrum.[48]

Halaman pembukaan suatu karya oleh Ibn al-Nafis, bapa fisiologi kejalanan darah. Ini mungkin adalah suatu salinan yang dibuatkan di India sewaktu abad ke-17 dan ke-18.

Fisiologi dan anatomi kitaran darat

Ibn al-Nafis, bapa fisiologi kardiovaskular,[51] adalah salah seorang lagi penyokong awal bagi pembelahan manusia.[49] Pada 1242, dia adalah yang pertama untuk menjelaskan kitaran pulmonari,[52] coronary circulation,[53] dan capillary circulation,[54] yang membentuk asasnya sistem kardiovaskular, yang mana dia dianggap salah seorang ahli fisiologi yang terhebat dalam sejarah.[55] Penjelasan orang Eropah yang pertama mengenai pulmonari kardiovaskular muncul hanya beberapa abad kemudian, oleh Michael Servetus pada 1553 dan William Harvey pada 1628. Ibn al-Nafis juga menjelaskan konsep terawal pada metabolisme,[56] dan mengembangkan sistem Nafisian pada anatomi, fisiologi, dan psikologi yang baru untuk menggantikan doktrin Avicenna dan Galen, sementara mengutuk banyak kesilapan teori mereka mengeai empat humor, pulsasi,[57] tulang, otot, usus kecil, organ deria, hempedu canals, esofagus, perut, dan anatomi hampir setiap bahagian lain pada badan manusia.[49]

Doktor Arab Ibn al-Lubudi (1210-1267), juga berasal dari Damsyik, menulis Pengumpulan perbincangan berkaitan dengan lima puluh soalan berpsikologi dan perubatan, yang mana dia menolak teori empat humor yang disokong oleh Galen dan Hippocrates, menemukan bahawa badan dan pengekalannya terpulang secara eksklusifnya pada darah, menolak gagasan Galen bahawa wanita dapat menghasilkan sperma, dan menemukan bahawa gerakan arteri tidak tergantung pada gerakan jantung, bahawa jantung adalah organ pertama untuk membentuk dalam sebuah badan fetus (daripada otak seperti yang didakwa oleh Hippocrates), dan bahawa tulang yang membentuk tengkorak dapat bertumbuh ke dalam tumor. Dia juga memberi nasihat bahawa bagi kejadian demam yang lampau, seorang pesakit seharusnya tidak dikeluarkan dari hospital.[58]

Pada abad ke-15, Tashrih al-badan (Anatomi badan) ditulis oleh Mansur ibn Ilyas mengandungi tatarajah komprehensif pada struktur badan, saraf dan sistem kardiovaskular.[59]

Pulsologi dan sfigmologi

Doktor Islam adalah perintis pada pulsologi dan sfigmologi. Pada zaman silam, Galen dan juga doktor Cina secara silap mempercayai bahawa adanya jenis unik pada pulse pada setiap organ badan dan setiap penyakit.[60] Galen juga secara silap mempercayai bahawa "setiap bahagian arteri berdenyut serentak" dan mosi denyutan adalah oleh kerana mosi asli (arteri mengembang dan mengecut secara asli) ditentangkan dengan mosi paksaan (jantung menyebabkan arteri untuk sama ada mengembang atau mengecut).[61] Penjelasan betul pertama pada kedenyutan diberikan oleh ahli fizik Muslim.
Avicenna adalah seorang perintis sfigmologi selepas dia menghaluskan teori Galen pada pulse dan menemukan pada yang berikut dalam Qanun Perubatan:[60]
"Setiap denyutan pulse terdiri dari dua gerakan dan dua hentian. Oleh itu, perkembangan : hentian : kontraksi : hentian. [...] Pulse adalah suatu gerakan dalam jantung dan arteri ... yang mengambil bentuk perkembangan dan kontraksi alternatif."
Avicenna juga merintiskan pencapaian moden pada memeriksaan kedenyutan melalui pemeriksaan pergelangan tangan, yang masih diamalkan dalam zaman moden. Alasannya untuk memilih pergelangan tangan sebagai tempat unggul ada oleh kerana ia secara mudah diadakan dan pesakit tidak perlu merasa tertekan pada pendedahan tubuhnya. Terjemahan bahasa Latin pada Qanun kepunyaannya juga meletakkan asas untuk reka cipa lain pada sfigmograf.[62]

Ibn al-Nafis, dalam Pengulasan pada Anatomi dalam Qanun Avicenna kepunyaanya, menolak keseluruhannya teori Galen pada kedenyutan selepas penemuannya pada peredaran paru-paru. Dia mengembangkan teori Nafis tersendirinya pada kedenyutan slepas menemukan bahawa kedenyutan adalah akibatnya mosi asli dan paksaan, dan bahawa "mosi paksaan seharusnya mengecutkan arteri disebabkan oleh pengembangan heart, dan mosi asli seharusnya dijadikan pengembangan arteri." Dia juga menyatakan bahawa "arteri dan jantung tidak mengembang dan mengecut pada waktu yang sama, tetapi daripada itu yang mengecut ketika yang satu lagi mengembang" dan sebaliknya. Dia juga mengakui bahawa tujuan denyut adalah untuk menolong disperse menyuraikan darah dari jantung ke bahagian lain badan. Ibn al-Nafis secara ringkas meringkaskan teori barunya pada denyutan:[63]
"Tujuan asas pengembangan dan pengecutan jantung adalah menyerapkan udara sejuk dan membuangkan pembaziran roh dan udara panas; meskipun, ventrikel jantung adalah lebar. Tambahan, apabila ia mengambang ia tidak mungkin untuknya untuk menyerap udara sehingga ia penuh, oleh kerana itu akan merosakkan temperament roh, bahannya dan texture, dan juga temperament jantung. Oleh itu, jantungnya diperlukan dipaksa untuk menyelesaikan isinya dengan menyerapkan roh."

sumber dari: ms.wikipedia.org

Saturday, 26 October 2013

Rahasia di Balik Penemuan Kacamata




Kacamata merupakan salah satu penemuan terpenting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Setiap peradaban mengklaim sebagai penemu kacamata. Akibatnya, asal-usul kacamata pun cenderung tak jelas dari mana dan kapan ditemukan.

Lutfallah Gari, seorang peneliti  sejarah sains dan teknologi Islam dari Arab Saudi mencoba menelusuri rahasia penemuan kacamata secara mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah sumber asli dan meneliti literatur tambahan. Investigasi yang dilakukannya itu membuahkan sebuah titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.

Lewat tulisannya bertajuk The Invention of Spectacles between the East and the West, Lutfallah mengungkapkan, peradaban Barat  kerap mengklaim sebegai penemu kacamata. Padahal, jauh sebelum masyarakat Barat mengenal kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut dia, dunia Barat  telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah sebuah mitos dan kebohongan belaka.

”Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat Etnosentrisme,” papar Lutfallah. Menurut dia,  sebelum peradaban manusia mengenal kacamata, para ilmuwan tdari berbagai peradaban telah menemukan lensa.  Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.

Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani, Hellenistik dan Islam. Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat itu tidak digunakan untuk magnification (perbesaran), tapi untuk pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus lensa/titik api lensa.
Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum “pembakaran kaca/burning mirrors”. ”Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur yang dikarang  sarjana Muslim pada era peradaban Islam,” tutur Lutfallah. Menurut dia,  fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham (965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (tentang optik) telah mempelajarai masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.

Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan tanpa warna seperti kaca, udara dan air. “Bentuk-bentuk benda yang terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat benda tanpa warna”. Ini merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna,” tutur al-Haitham seperti dikutip Lutfallah.
Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada abadke-11 itu telah mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui permukaan tanpa warna. Namun,  al-Haitham belum mengetahui  aplikasi yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.

Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih awal tiga ratus tahun dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi karya  Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair yang menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis  sekitar200 tahun,  sebelum masyarakat Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain sebagai berikut:

”Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,” tutur al-Hamdis.

Al-Hamdis melanjutkan, ”Ini seperti seorang yang manusia yang pintar, yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orang tua yang lemah penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka.”

Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai penemu kacamata pertama.  Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, “Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu (rock)”.


kaca-mata


Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata merupakan alat  pengobatan yang terbaik bagi orang tua yang menderita cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan menggunakan kacamata, papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran. Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai berikut: “Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungai”. Menurut penelitian Lutfallah, penggunaan kacamata mulai meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu terungkap dalam lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.

Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan kacamata. “Usia ua datang setelah muda, saya pernah mempunyai penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya terbuat dari kaca.” Sementara itu,sSejarawan al-Sakhawi, mengungkapkan,  tentang seorang kaligrafer Sharaf Ibnu Amir al-Mardini (wafat tahun 1447 M). “Dia meninggal pada usia melewati 100 tahun; dia pernah memiliki pikiran sehat dan dia melanjutkan menulis tanpa cermin/kaca. “Sebuah cermin disini rupanya seperti lensa,” papar al-Sakhawi.

Fakta lain yang mampu membuktikan bahwa peradaban Islam telah lebih dulu menemukan kacamata adalah pencapaian dokter Muslim dalam ophtalmologi, ilmu tentang mata.   Dalam karanya tentang ophtalmologi, Julius Hirschberg , menyebutkan, dokter spesialis mata Muslim tak menyebutkan kacamata.  ”Namun itu tak berarti bahwa peradaban Islam tak mengenal kacamata,” tegas Lutfallah.


sumber dari: tonyoke.wordpress.com

Saturday, 12 October 2013

teori optik pertama






Haytham mencatatkan namanya sebagai orang pertama
yang menggambarkan seluruh detil bagian indra penglihatan manusia.
Ia memberikan penjelasan yang ilmiah
tentang bagaimana proses manusia bisa melihat.
Salah satu teorinya yang terkenal adalah
ketika ia mematahkan teori penglihatan
yang diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid.
Melalui Kitab Al Manadhir, teori optik pertama kali dijelaskan. Hingga 500 tahun kemudian, teori yang fenomenal ini dikutip banyak ilmuwan sekelas Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Copernicus dan bahkan Sir Isaac Newton juga. Tahukah anda, siapa sang ilmuwan luar biasa tersebut?

Tak banyak orang yang tahu bahwa orang pertama yang menjelaskan soal mekanisme penglihatan pada manusia -yang menjadi dasar teori optik modern- adalah ilmuwan Muslim asal Irak. Namanya Ibnu Al-Haytham atau di Barat dikenal dengan nama Alhazen.

Lewat karya ilmiahnya, kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia.

Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Manadhir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik. Di tahun 1572, karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Opticae Thesaurus.

Bab tiga volume pertama buku ini mengupas ide-ide dia tentang cahaya. Dalam buku itu, Haytham meyakini bahwa sinar cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya.

Ia membuat percobaan yang sangat teliti tentang lintasan cahaya melalui berbagai media dan menemukan teori tentang pembiasan cahaya. Ia jugalah yang melakukan eksperimen pertama tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.

Dalam buku yang sama, ia menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam, dan juga teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi.

Ia juga melakukan percobaan untuk menjelaskan penglihatan binokular dan memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran matahari dan bulan ketika mendekati horison.

Haytham mencatatkan namanya sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra penglihatan manusia. Ia memberikan penjelasan yang ilmiah tentang bagaimana proses manusia bisa melihat. Salah satu teorinya yang terkenal adalah ketika ia mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid.

Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya yang keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.

Dalam buku ini, ia menjelaskan bagaimana mata bisa melihat objek. Ia menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan manusia.



Salah satu karyanya yang paling menomental adalah ketika Haytham bersama muridnya, Kamal ad-Din, untuk pertama kali meneliti dan merekam fenomena kamera obsecura. Inilah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia.

Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai “ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya.

Sementara dalam bukunya Mizan al-Hikmah, ia mendiskusikan kepadatan atmosfer dan membangun korelasi antara hal tersebut dengan faktor ketinggian. Ia juga mempelajari pembiasan atmosfer dan menemukan fakta bahwa senja hanya muncul ketika matahari berada 19 derajat di bawah horison.

Dengan dasar itulah, ia mencoba mengukur tinggi atmosfer. Dalam bukunya, ia juga membahas teori daya tarik massa, suatu fakta yang menunjukkan ia menyadari korelasi percepatan dengan gravitasi.

Selain di bidang fisika, Ibnu Haytham juga memberikan kontribusi penting terhadap ilmu matematika. Dalam ilmu ini, ia mengembangkan analisis geometri dengan membangun hubungan antara aljabar dengan geometri. Haytham juga membuat buku tentang kosmologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi di abad pertengahan. Karya lainnya adalah buku tentang evolusi, yang hingga kini masih menjadi perhatian ilmuwan dunia.

Sayangnya, dari sekian banyak karyanya -bukunya diperkirakan berjumlah 200 lebih- hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al Manadhir, tidak diketahui lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.


sumber dari: yayasan-alikhlas.blogspot.com

Thursday, 3 October 2013

PORTRAITS ANCIENT MUSLIM SCIENTIST




Jabir Ibn Haiyan (Geber) - Chemistry - (Died 803 C.E).

Al-Razi (Rhazes) - Medicine, Ophthalmology, Smallpox , Chemistry, Astronomy - (864-930)

Abu Al-Qasim Al-Zahravi (Albucasis) - Surgery, Medicine - (936-1013)

Ibn Al-Haitham (Alhazen) - Physics,Optics, Mathematics - (965-1040)

Ibn Sina (Avicenna) - Medicine, Philosophy, Mathematics, Astronomy - (986-1037)



sumber dari: pgssajkm.blogspot.com

Friday, 27 September 2013

Penemu prinsip kerja asas kamera




al haitam


Suratkhabar terkemuka di Barat, The Independent pada edisi 11 Mac 2006 telah menerbutkan sebuah artikel yang sangat menarik bertajuk ”Bagaimana Pencipta Muslim Mengubah Dunia. Salah satunya adalah pencipta kamera obscura. Kamera merupakan salah satu penemuan penting yang dicapai oleh umat manusia. Dengan flash dan tembakan kamera, manusia dapat merakam dan mengabadikan pelbagai bentuk gambar bermula dari sel manusia hingga galaksi di luar angkasa. Teknologi pembuatan kamera, kini dikuasai peradaban Barat serta Jepang. Sehingga, banyak umat Muslim yang meyakini kamera berasal dari peradaban Barat.

Jauh sebelum masyarakat Barat menemuinya, prinsip-prinsip asas pembuatan kamera telah dicetuskan seorang sarjana Muslim lebih kurang 1,000 tahun silam. 

Penemu prinsip kerja asas kamera itu adalah seorang saintis legenda Islam yang bernama Ibnu al-Haitham. Pada akhir abad ke-10 Masihi, Al-Haitham berjaya mencipta sebuah kamera obscura. Itulah salah satu karya al-Haitham yang paling berkesan. Penemuan yang sangat inspiratif itu berjaya dilakukan al-Haitham bersama Kamaluddin al-Farisi. Mereka berdua berjaya meneliti dan merakam fenomena kamera obscura.

Penemuan itu bermula ketika mereka mempelajari gerhana matahari. 

Untuk mempelajari fenomena gerhana, Al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang membenarkan cahaya matahari diunjurkan melalui permukaan datar. Kajian ilmu optik serupa kamera obscura itulah yang menjadi asas cara kerja kamera yang pada masa ini digunakan umat manusia. Dari kamus Webster, fenomena ini diertikan sebagai “ruang gelap”. Biasanya bentuknya seperti kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori yang dipecahkan Al-Haitham itu telah memberi ilham penemuan filem yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada penonton.

“Kamera obscura pertama kali dibuat saintis Islam, Abu Ali Al-Hasan Ibnu al-Haitham, yang lahir di Basra (965-1039 M),” 

ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam karyanya berjudul The eye as an optical instrument : from camera obscura to Helmholtz’s perspective. Dunia mengenal al-Haitham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal melalui bukunya bertajuk Kitab al-Manazir (Buku optik). Untuk membuktikan teori-teori dalam bukunya itu, legenda pakar fizik Islam itu kemudian menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenali dengan sebutan kamera obscura, atau kamar gelap.

Bradley Steffens dalam karyanya berjudul Ibn al-Haytham:First Scientist mengungkapkan bahawa Kitab al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan prinsip kerja kamera obscura. “Dia merupakan saintis pertama yang berjaya memprojeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke dalam gambar dengan kamera obscura,” papar Bradley. Istilah kamera obscura yang ditemui oleh al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16 Masihi. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh dengan pemikiran al-Haitham mulai mengganti lubang bidik lensa dengan lensa (camera).

Setelah itu, penggunaan lensa pada kamera onscura juga dilakukan Giovanni Batista della Porta (1535-1615 M). Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah kamera obscura yang ditemukan al-Haitham pertama kali diperkenalkan di Barat oleh Joseph Kepler (1571 – 1630 M). Kepler meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar projection gambar (prinsip digunakan dalam dunia lensa foto jarak jauh moden). Setelah itu, Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel, jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan al-Haitham piring-piring foto pertama kali digunakan secara statik untuk menangkap gambar yang dihasilkan oleh kamera obscura. Gambar statik pertama diambil oleh Joseph Nicephore Niepce di Prancis pada 1827.

Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentera Inggeris semasa Perang. Dia mengembangkan plat-plat dalam perjalanan bilik gelapnya. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip kerja kamera obscura ciptaan al-Hitham dengan baik sekali. Eastman menciptakan kamera kodak. Sejak itulah, kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi. Sebuah versi kamera obscura digunakan dalam Perang Dunia I untuk melihat kapal terbang dan pengukuran perfomance. Pada Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk memeriksa ketepatan navigasi radio. Begitulah penciptaan kamera obscura yang diilhamkan al-Haitham mampu mengubah peradaban dunia.

Peradaban dunia moden tentu sangat berutang budi kepada ahli fizik Muslim yang lahir di Kota Basrah, Iraq. Al-Haitham semasa hidupnya telah menulis lebih dari 200 karya ilmiah. Semuanya didedikasikannya untuk kemajuan peradaban manusia. Sayangnya, umat Islam kini lebih terpesona kepada pencapaian teknologi Barat, sehingga kurang menghargai dan mengulangi pencapaian saintis Islam di era kejayaan Islam.


sumber dari: upsk.my

how human vision works






One of the first ideas regarding how human vision works came from the Greek philosopher Empedocles around 450 BCE. Empedocles reasoned that the Greek goddess Aphrodite had lit a fire in the human eye, and vision was possible because light rays from this fire emanated from the eye illuminating objects around us. While a number of people challenged this proposal, the idea that light radiated from the human eye proved surprisingly persistent until around 1,000 CE, when a Middle Eastern scientist advanced our knowledge of the nature of light and, in so doing, developed a new and more rigorous approach to scientific research. Abū ‘Alī al-Hasan ibn al-Hasan ibn al-Haytham, also known as Alhazen, was born in 965 CE in the Arab city of Basra in what is now present day Iraq.

He began his scientific studies in physics, mathematics, and other sciences after reading the works of several Greek philosophers. One of Alhazen’s most significant contributions was a seven-volume work on optics titled Kitab al-Manazir (later translated to Latin as Opticae Thesaurus Alhazeni--Alhazen’s Book of Optics). Beyond the contributions this book made to the field of optics, it was a remarkable work in that it based conclusions on experimental evidence rather than abstract reasoning – the first major publication to do so. Alhazen’s contributions have proved so significant that his likeness was immortalized on the 2003 10,000-dinar note issued by Iraq (Figure 1).



Alhazen invested significant time studying light, color, shadows, rainbows, and other optical phenomena. Among this work was a study in which he stood in a darkened room with a small hole in one wall. Outside of the room, he hung two lanterns at different heights. Alhazen observed that the light from each lantern illuminated a different spot in the room, and each lighted spot formed a direct line with the hole and one of the lanterns outside the room. He also found that covering a lantern caused the spot it illuminated to darken, and exposing the lantern caused the spot to reappear. Thus, Alhazen provided some of the first experimental evidence that light does not emanate from the human eye but rather is emitted by certain objects (like lanterns) and travels from these objects in straight lines. Alhazen’s experiment may seem simplistic today, but his methodology was ground-breaking: He developed a hypothesis based on observations of physical relationships (that light comes from objects), and then designed an experiment to test that hypothesis. Despite the simplicity of the method, Alhazen’s experiment was a critical step in refuting the long-standing theory that light emanated from the human eye, and it was a major event in the development of modern scientific research methodology.


sumber dari: visionlearning.com

refleksi cahaya






“Banyak kemajuan penting dalam studi optik datang dari dunia muslm,” ujar Hassani.

Diantara tahun 1.000 Ibn al-Haitham membuktikan bahwa manusia melihat obyek dari refleksi cahaya dan masuk ke mata, refleksi cahaya dan masuk ke mata, mengacuhkan teori Euclid dan Ptolemy bahwa cahaya dihasilkan dari dalam mata sendiri. Fisikawan hebat muslim lainnya juga menemukan fenomena pengukuran kamera di mana dijelaskan bagaimana mata gambar dapat terlihat dengan koneksi antara optik dan otak.


sumber dari: penemudunia.wordpress.com

ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan




280 Para Ilmuwan Astronomi Muslim


Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.

Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. 

Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila mata­hari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila mata­hari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya. 

Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia. 

Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Hai­tham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa kini.


sumber dari: ebo.web.id