Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).

Friday 31 May 2013

A stamp printed in Jordan shows image of Al-Aqsa Mosque




JORDAN-CIRCA 1965 A stamp printed in Jordan shows image of Al-Aqsa Mosque, the Old City of Jerusalem, Pope Paulus VI and king Hussein,inscription - 1st  anniversary of Pope Paulus VI visit to the Holy Land  circa 1965  Stock Photo - 13182636


JORDAN-CIRCA 1965 A stamp printed in Jordan shows image of Al-Aqsa Mosque, the Old City of Jerusalem, Pope Paulus VI and king Hussein,inscription - 1st anniversary of Pope Paulus VI visit to the Holy Land circa 1965


sumber dari: 123rf.com

KONSPIRASI LETAK MASJID ALAQSA



Mungkin sobat pernah denger to dah tahu dengan yang namanya Mesjid Al Aqsa. Karena qta sebagai umat islam sendiri lebih mengenalnya sebagai tempat suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Yaitu sebagai saksi bisu peristiwa ghaib Isra’ Mi’raj Rasulallah SAW dimana setelah Isra’ dari Masjidil Haram kemudian dari Masjidil Aqsa inilah beliau me-Mi’rajkan dirinya menyapa para nabi terdahulu dan menghadap langsung dihadirat Allah di Sidratul Muntaha langit ke-7, disanalah Allah bersemayam disinggasananya yang suci – ‘Arsy – sebagai Tuhan Semesta Alam.



Tapi seberapa tahukah sobat mengenai Mesjid Al Aqsa? Sudah benarkah apa yang qta sebut dengan yang namanya Mesjid Al Aqsa? Mari sobat qta coba buka cakrawala bersama. Manakala qta perhatikan lihat atau amati setiap kali akan nama “MESJID AL AQSA” maka media lokal (Arab) maupun media internasional, akan menampilkan gambar “DOME OF THE ROCK”.

Main destiny - tujuan utamanya adalah ‘pembodohan’ kepada dunia. Hati2lah wahai sobat. Maka banyak orang Muslim dan Non-Muslim, dengan maksud yang b`beda2 telah membuat kesalahan dg mencetak dan menyebarluaskan gambar itu.

 
Umat Muslim mengirim kemana-mana, dirumah maupun di kantor. Akhirnya anak2 tertipu dan tidak bisa membedakan kebenaran dari dua mesjid tersebut – Mesjid Al Aqsa dengan Mesjid Qubah Al Sakhra.

Apa yang akan terjadi bila Mesjid Al Aqsa yang sebenarnya dihancurkan???
Apa yang akan kita lakukan???

Toh Tidak akan ada yang mengutuk atau mempersalahkan apalagi menghukum, KEBINGUNGAN antara ‘Mesjid Al-AQSA’dan ‘Mesjid QUBAH AS-SAKHRA’ yang telah lama didirikan b`abad2 silam.

Tapi kita(Umat Muslim) harus tahu dan menyadari kesalahan ini. Dan membuat penjelasan sebenarnya kepada anak maupun masyarakat umum tentang Masjid al-Aqsa. Mari kita lihat mana Mesjid Al Aqsa yang sesungguhnya.

Mari qta perhatikan sejenak, pada bagian sebelah kanan gambar tampak mesjid dengan kubahnya yang lumayan besar dan tampak lebih mencolok dibanding sekitarnya. Mungkin bila diamati warna kubahnnya nampak seperti emas. Dan jika dilihat secara keseluruhan dari atas bangunan mesjid terlihat berbentuk octagonal - segidelapan. Disitulah kesalahan kebanyakan dari kita yang menyebutnya mesjid Al Aqsa padahal sebenarnya itu adalah mesjid Al Sakhrah yang sama-sama didirikan 1 komplek bersama mesjid Al Aqsa. Dan mesjid Al Aqsa yang sebenarnya tampak berada di sebelah kiri dari mesjid Al-Sakhrah pada gambar tersebut.
Untuk lebih jelasnya lihat gambar2 dibawah ini




Masjid Al-Aqsa dan Qubah Al Sakhrah yang terletak pada 1 komplek, perhatikan juga letak antara ke-2nya.





Di Masjid inilah Nabi Muhammad SAW singgah ketika melaksanakan Isra Mi’raj dan Nabi SAW mengimami shalat berjamaah bersama 25 Rasul dan lebih dari 160.000 Nabi

***

Tujuan utama media Yahudi (dengan eksploitasi berita di CNN) menyamarkan Masjid Sakhra sebagai Masjid Aqsa adalah agar Yahudi bisa menghancurkan Al Aqsa dan membangun “Solomon Temple” (Kuil Sulaiman) pada bekas reruntuhan Al Aqsa.

Umat Yahudi meyakini dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) bahwa akan datang diakhir zaman seorang yang mereka anggap sebagai dewa penolong Yahudi yang dinamakan “Messiah” (Al Masih, dalam bahasa Arab) apabila mereka mengadakan ritual agama di Solomon Temple dengan mempersembahkan sapi betina berwarna merah (Al Baqarah)


sumber dari: suhendri22.blogspot.com

Clashes as Israel shuts off al-Aqsa 4Oct09




AL Aqsa



Israeli security forces have closed off the al-Aqsa mosque compound in Jersualem as more than 200 Palestinians stage a sit-in at the site.

Sporadic clashes broke out on Sunday as military and police checkpoints were set up around the site, known as the Haram al-Sharif to Muslims and the Temple Mount to Jews.

At least seven people were wounded and seven arrested as clashes broke out at the Lion’s Gate entrance to the Old City of Jerusalem.

Al Jazeera’s Sherine Tadros, reporting from Jerusalem, said that the mosque was being protected by worshippers who wanted to stop Jewish hardliners from entering the compound.

Israeli version

Describing the latest clashes, Shmuel Ben-Ruby, the Israeli police spokesman for Jerusalem, said that about 150 demonstrators were dispersed from one area near the al-Aqsa compound on Sunday, but unrest was continuing in nearby East Jerusalem.

He said some had thrown bottles and rocks.
Micky Rosenfeld, another Israeli police spokesman, confirmed that the compound had been “shut to visitors” this week.

He said that Israeli authorities had also detained Khatem Abdel Khader, an adviser to the Palestinian prime minister on Jerusalem affairs, on suspicion he was trying to incite protests at the site.
Israeli security forces have said that the restrictions will stay in place until the Palestinian protesters turn themselves to authorities.

Israel captured and annexed the Old City with its holy sites, along with the rest of Arab East Jerusalem and the West Bank, in the war of 1967.


sumber dari: australiansforpalestine.net

Israel Batasi Akses Al-Aqsa




Masjid Al-Aqsa


Pasukan Isreal Senin ini, 29 Maret 2010, mulai membatasi akses masuk ke kawasan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur menjelang hari libur Paskah Yahudi akhir pekan ini. Israel juga menutup Tepi Barat selama perayaan Paskah Yahudi yang kebetulan bertepatan dengan perayaan Paskah umat Kristiani pada akhir pekan.

Pembatasan akses dilakukan untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan dalam momen Paskah Yahudi di kawasan yang diduduki Israel tersebut. Laki-laki muslim berusia di bawah 50 tahun, dan juga umat beragama selain Yahudi, dilarang memasuki kawasan Masjid Al-Aqsa.

Seperti diberitakan kantor berita Ma'an, larangan ini diberlakukan menyusul penangkapan sebelas warga Palestina di kota Bethlehem di Tepi Barat saat perayaan Minggu Palma oleh umat Kristiani kemarin. Kesebelas warga Palestina itu memprotes kebijakan yang melarang umat Kristiani melakukan ritus agama di Yerusalem dalam rangka Minggu Palma.

Karena itu, puluhan pemrotes yang kemudian didukung oleh para aktivis perdamaian internasional dan pendukung kelompok muslim, turun ke jalan setelah umat Kristiani selesai mengikuti misa Minggu Palma di Nativity Church.

Israel biasanya memperketat akses masuk bagi warga Tepi Barat selama hari libur Yahudi. Dalam beberapa bulan belakangan, kewaspadaan Israel makin meningkat karena selalu terjadi pertikaian saat peringatan hari besar agama di sekitar dan di dalam kawasan Masjid Al-Aqsa.

Pada September tahun lalu, dan juga awal bulan ini, puluhan orang terluka akibat aksi kekerasan menyusul rumor bahwa ekstrimis Yahudi bermaksud melakukan kegiatan ibadah di dalam lokasi masjid.


sumber dari: us.dunia.news.viva.co.id

Palestinians gather in Jerusalem to defend Al-Aqsa Mosque




Al-Aqsa Mosque on the background of Mount of Olives in Old Jerusalem,Israel Stock Photo - 6984580


Thousands of Palestinians gathered around Al-Aqsa Mosque in Jerusalem, according to reports, in an attempt to prevent an allegedly impending attack Sunday by Israeli Likud supporters aiming tear down the Islamic shrine.


Likud leader Moshe Feiglin had urged party activists to "purify the site from the enemies of Israel who stole the land and build the Third Temple on the ruins of the mosques," according to The Jerusalem Post, referring to the ancient Temple of Solomon, the ruins of which are claimed to lay under Al-Aqsa Mosque.
The Fatah official responsible for the Jerusalem file, Hatem Abdel Kader, told the Kuwait News Agency KUNA that large numbers of Palestinian residents in Jerusalem observed fajr (dawn) prayers in Al-Aqsa early Sunday and stayed to protect the mosque from a possible attack.

The Jerusalem Post said Israeli police prevented Feiglin and three other Likud activists from entering the Haram El-Sharif area where Al-Aqsa Mosque lies, saying the area was closed to all non-Muslims as a result of Feiglin's announcement.

Israeli army and police set up barricades on Saturday at the Damascus, Herod and Lions' gates to the Old City, carrying out identity checks.

Many clashes occurred between Jerusalem residents and Israeli forces, according to the Middle East News Agency (MENA), at Al-Nazer, one of 11 gates of Al-Aqsa Mosque, and Al-Wad Street, while Israeli army, police and intelligence officers patrolled streets close to the mosque's gates.

News of the attack called for by Feiglin caused alarm on social networking site Twitter where users implored Palestinians able to go to Al-Aqsa and defend it. Others claimed the whole affair was a hoax.


sumber dari: english.ahram.org.eg

Al-Masjid al-Ḥaram (“The Sacred Mosque”) — commonly known as the Grand Mosque, Haram




Al-Masjid al-Ḥaram (“The Sacred Mosque”) — commonly known as the Grand Mosque, Haram or Haram Sharif — is the largest mosque in the world located in the city of Mecca, and considered by Muslims as the holiest place on Earth.



Isha prayer at the Haram Sharif mosque. Photo Mohammad Suman Hossain



Pilgrims circumambulating the Kaaba during the Hajj. Photo Mohammad Mahdi Karim



Visitors at the Zamzam Well at Haram Sharif mosque. Photo Mardetanha


Covering an area of 3,840,570 square feet (356,800 sq. meters) including the outdoor and indoor praying spaces, it can accommodate up to 4,000,000 during the Hajj period, one of the largest annual gatherings in the world.

The entire building is constructed out of the layers of gray blue stone from the hills surrounding Mecca. The 4 corners roughly face the 4 points of the compass. In the eastern corner is the Hajr-al-Aswad (the Black Stone), at the northern corner lies the Rukn-al-Iraqi, at the west lies Rukn-al-Shami, and at the south Rukn-al-Yamani.

The four walls are covered with a curtain — Kiswah — which is usually of black brocade with the Shahada outlined in the weave of the fabric. About two-thirds of the way up runs a gold embroidered band covered with Qur’anic text.

The Islamic teaching states that nothing is magical about the Grand Mosque except for the oasis Zamzam Well which has never dried ever since it was revealed.


sumber dari: lifeinthefastlane.ca

Al-Aqsa Mosque is an Islamic holy place in the Old City of Jerusalem



Al-Aqsa Mosque — also known as al-Aqsa — is an Islamic holy place in the Old City of Jerusalem. The mosque itself forms part of the al-Haram ash-Sharif or “Sacred Noble Sanctuary,” a site also known as the Temple Mount and considered the holiest site in Judaism, since it’s believed to be where the Temple in Jerusalem once stood.



Eastern view of the Al-Aqsa Mosque and the Fakhariyyah Minaret. Photo MathKnight



The Al-Aqsa along the southern wall of the Temple Mount. Photo David Shankbone



The dome of the Al-Aqsa in 1982, made of aluminum, replaced with its
original lead plating in 1983. Photo Barbara Kabel


The rectangular mosque and its precincts are 1,550,003 square feet (144,000 sq. meters), with a capacity of 400,000 people, although the mosque itself is about 376,737 square feet (35,000 sq. meters) and could hold up to 5,000, measuring 272 feet (83 meters) long by 184 feet (56 meters) wide.

The al-Aqsa Mosque was originally a small prayer house built by the Rashidun caliph Umar, but was rebuilt and expanded with additions of its dome, facade, minbar, minarets and the interior structure, after successions of earthquakes over the centuries.

When the Crusaders captured Jerusalem in 1099, they used the mosque as a palace and church, but its function as a mosque was restored after its recapture by Saladin. More renovations, repairs and additions were undertaken in the later centuries by the Ayyubids, Mamluks, the Supreme Muslim Council, and Jordan.



The Al-Aqsa silver-colored dome of lead sheeting. Photo Maryatexitzero



Facade and porch of the Al-Aqsa mosque. Photo Yaakov Shoham



Interior of the Al-Aqsa showing the central naves and columns. Photo Eric Stoltz



Al-Aqsa mosque. Photo Wilson 44691


The destruction of the First Temple — known as the Temple of Solomon — is attributed to the Babylonians in 587 B.C, and there are no physical remains attesting to its presence or structure. Building of the Second Temple began during the rule of the Persian king Cyrus the Great, but was destroyed by the Roman Emperor (then general) Titus in 70 CE.

All that remains of it is the Western Wall, which is thought to be a remnant of this second temple’s platform. Emperor Justinian built a Christian church on the site in the 530′s which was consecrated to the Virgin Mary and named “Church of Our Lady.” The church was later destroyed by Khosrau II, the Sassanian emperor in the early 7th century and left in ruins.

It’s unknown exactly when the al-Aqsa Mosque was first built and who ordered its construction, but it is certain that it was created in the early Ummayad period of rule in Palestine.


sumber dari: lifeinthefastlane.ca

Controversial excavations take place next to Al-Aqsa Mosque



Controversial excavations are carried out by the Israeli authorities at the site of the ancient Umayyad graves next to the Al-Aqsa Mosque, which is the third holiest site in Islam and is located in the Old City of Jerusalem.


Controversial excavations take place next to AlAqsa Mosque


Controversial excavations take place next to AlAqsa Mosque


sumber dari: demotix.com

Wednesday 29 May 2013

“…In the grave, when he ends his years…”




Quantcast
bism0113
من ذا الذي قد نال راحة سره * في عسره إن كان أو في يسره
فأخو التجارة خـائف مترقب * مما يلاقي من خسارة أمره
وأخو الوزارة حـائر متفـكر * مما يقاسي من نوائب دهره
وكذلك السلطـان في أحكامه * رهن الهموم على جلالة قدره
ولقد حسدت الطير في أوكاره * فوجدت أكثر ما يصاد بوكره
تالله لو عـاش الفتى من دهره * ألفا من الأعوام مالك أمره
متلـذذا فيهـا بكل مليـحة * متنعما فيها بنعمى عصره
لا يعتريـه السقـم فيها مرة * أبدا ولا تطرا الهموم بفكره
وصفت له الأيـام حتى إنـه * لا تنطق الأصوات عند مقره
ما كان ذلك كلـه ممـا يفي * بمبيت أول ليلة في قبره

Who has found true peace of mind
In better, or perhaps in worse?
The businessman is worn with fear
Of loss in his commerce
The statesman lives in fretful dread
Of times and tides adverse
The potentate, for all his power
In thrall to angst and fears
For after every glad report
Comes news that rocks his piers
I’d envy the birds, but the nest, I found
Is oft where the kill occurs
By Allah, if a man had to live, in control
Of his life, for a thousand years
Indulging in every beauty’s delight
In a bliss that for life endures
With never an illness obstructing his way
And he never a worry incurs
And tranquility reigns, and his days are serene
And no noise ever reaches is ears—
None of that would avail him the first night spent
In the grave, when he ends his years.

~

[Diwan of Imam Shafiee - Translated by Abu Muhammad]

sumber dari: ummuabdulazeez.com

UNESCO World Heritage Committee: Save World Heritage in Baqee





UNESCO World Heritage Committee: Save World Heritage in Baqee

Jannat Al-Baqee is one of the largest cemeteries in the Muslim world, containing more than 7000 bodies, located across the mosque of the Prophet in the city of Medina, Saudi Arabia. The graveyard today contains the bodies of many of the companions of Prophet Muhammad (pbuh) and other members of his family, including four Shi’a Imams.
Before Destruction Some of the earliest descriptions of how the architecture and tombs looked like are by a traveler named Ibn Jubayr who explored the Middle East extensively in the eleventh and twelfth century, and took detailed accounts of his travels - including those in Medina. He describes the traditions of who is buried there, the shrines that existed, and the architecture, including things like the white domes and elevations involved. The grave of the second Imam of the Shi’ites, Hasan ibn Ali, has been described as follows:“Close by are the graves of ‘Abbas ibn Abdu’l Muttalib and of Hasan ibn ‘Ali. The latter has a dome which stands high in the air. It is near the Baki’ Gate which we have mentioned, on the right, as one would go out. The head of al-Hasan lies towards the feet of al-‘Abbas. Their two graves are broad and elevated from the ground, are faced with slabs of beautiful stone, are ornamented with plates of nickel, and are bound with star-headed nails, all of which gives a most pleasing effect. The grave of Ibrahim, the son of the Prophet, is of the same kind.
Jannat ul-Baqee serves as a historical piece of destroyed architecture as it shows and epitomizes the influence of the Wahhabi doctrine on the Kingdom of Saudi Arabia. The Wahhabis first attempted to take over Medina in 1806 and it was then when many sites of historical importance were destroyed, except for the Prophet’s tomb. Jannat ul-Baqee was then rebuilt by the Ottoman Empire under the rule of the sultans Abd al-Majid I, ‘Abd al-Hamid II and Mahmud II. “From 1848 to 1860, the buildings were renovated and the Ottomans built the domes and mosques in splendid aesthetic style. They also rebuilt the Baqee’ with a large dome over the graves” of several important figures. In the early 1920s, Wahhabis entered Saudi Arabia once again, and Ibn Saud, King Abdul Aziz, founded what is now known as the Kingdom of Saudi Arabia. It was then that the mausoleum of Baqee was destroyed by its members in April of 1925 and remains in that condition today ever since.
There are many notable personalities buried in the graveyard. Some of them include:
 Imam Hasan ibn Ali, grandson of Prophet Muhammad, son of Fatima and Ali; the second Imam
 Imam Ali ibn Husayn, commonly referred to as Zayn al-Abidin, the fourth Imam
 Imam Muhammad al-Baqir, son of Ali ibn Husayn, the fifth Imam
 Imam Jafar al-Sadiq, son of Muhammad al-Baqir, the sixth Imam
 Most of the wives of Prophet Muhammad (pbuh)
 Ibrahim, son of Prophet Muhammad through Maria al-Qibtiyya who died in infancy
 Fatima bint Asad, aunt of Prophet Muhammad and mother of Imam Ali
 Other aunts of Prophet Muhammad including Safiya and Aatika
 Fatima Zahra, Muhammad’s daughter by his first wife Khadijah bint Khuwaylid; her actual grave location is unknown or disputed since she did not want the people who hurt her to know where she was buried
 Abbas ibn Abd al-Muttalib, uncle of Muhammad
 Fatima bint Hizam, known as Umm ul-Banin, who married Imam Ali; mother of four children who died defending Imam Hussain ibn Ali in the Battle in Karbala
 Uthman ibn Affan, a companion of Prophet Muhammad and third Caliph. He was originally buried outside of Jannat ul-Baqee, but the cemetery was later expanded to include his grave
 Malik ibn Anas, also known as Imam Malik; a Sunni Muslim jurist based on who the present day Maliki school of thought exists
SIGN THE PETITION HERE



Jannat Al-Baqee is one of the largest cemeteries in the Muslim world, containing more than 7000 bodies, located across the mosque of the Prophet in the city of Medina, Saudi Arabia. The graveyard today contains the bodies of many of the companions of Prophet Muhammad (pbuh) and other members of his family, including four Shi’a Imams.

Before Destruction

Some of the earliest descriptions of how the architecture and tombs looked like are by a traveler named Ibn Jubayr who explored the Middle East extensively in the eleventh and twelfth century, and took detailed accounts of his travels - including those in Medina. He describes the traditions of who is buried there, the shrines that existed, and the architecture, including things like the white domes and elevations involved. The grave of the second Imam of the Shi’ites, Hasan ibn Ali, has been described as follows:


“Close by are the graves of ‘Abbas ibn Abdu’l Muttalib and of Hasan ibn ‘Ali. The latter has a dome which stands high in the air. It is near the Baki’ Gate which we have mentioned, on the right, as one would go out. The head of al-Hasan lies towards the feet of al-‘Abbas. Their two graves are broad and elevated from the ground, are faced with slabs of beautiful stone, are ornamented with plates of nickel, and are bound with star-headed nails, all of which gives a most pleasing effect. The grave of Ibrahim, the son of the Prophet, is of the same kind.

Jannat ul-Baqee serves as a historical piece of destroyed architecture as it shows and epitomizes the influence of the Wahhabi doctrine on the Kingdom of Saudi Arabia. The Wahhabis first attempted to take over Medina in 1806 and it was then when many sites of historical importance were destroyed, except for the Prophet’s tomb. Jannat ul-Baqee was then rebuilt by the Ottoman Empire under the rule of the sultans Abd al-Majid I, ‘Abd al-Hamid II and Mahmud II.

“From 1848 to 1860, the buildings were renovated and the Ottomans built the domes and mosques in splendid aesthetic style. They also rebuilt the Baqee’ with a large dome over the graves” of several important figures.

In the early 1920s, Wahhabis entered Saudi Arabia once again, and Ibn Saud, King Abdul Aziz, founded what is now known as the Kingdom of Saudi Arabia. It was then that the mausoleum of Baqee was destroyed by its members in April of 1925 and remains in that condition today ever since.

There are many notable personalities buried in the graveyard. Some of them include:
  • Imam Hasan ibn Ali, grandson of Prophet Muhammad, son of Fatima and Ali; the second Imam
  • Imam Ali ibn Husayn, commonly referred to as Zayn al-Abidin, the fourth Imam
  • Imam Muhammad al-Baqir, son of Ali ibn Husayn, the fifth Imam
  • Imam Jafar al-Sadiq, son of Muhammad al-Baqir, the sixth Imam
  • Most of the wives of Prophet Muhammad (pbuh)
  • Ibrahim, son of Prophet Muhammad through Maria al-Qibtiyya who died in infancy
  • Fatima bint Asad, aunt of Prophet Muhammad and mother of Imam Ali
  • Other aunts of Prophet Muhammad including Safiya and Aatika
  • Fatima Zahra, Muhammad’s daughter by his first wife Khadijah bint Khuwaylid; her actual grave location is unknown or disputed since she did not want the people who hurt her to know where she was buried
  • Abbas ibn Abd al-Muttalib, uncle of Muhammad
  • Fatima bint Hizam, known as Umm ul-Banin, who married Imam Ali; mother of four children who died defending Imam Hussain ibn Ali in the Battle in Karbala
  • Uthman ibn Affan, a companion of Prophet Muhammad and third Caliph. He was originally buried outside of Jannat ul-Baqee, but the cemetery was later expanded to include his grave
  • Malik ibn Anas, also known as Imam Malik; a Sunni Muslim jurist based on who the present day Maliki school of thought exists


sumber dari: islamunified.tumblr.com

Sunday 26 May 2013

menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy








( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

 Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptakan semua makhluq (sebelum diciptakan tempat, arah, arsy, langit dan smua makhluq = zaman azali) dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi- Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan”Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam

أَنت الظَّا  ه  ر فَلَيس فَوقَك شىءٌ وأَنت ” :r 3. قال رسول الله
الْبا  ط  ن فَلَيس دونك شىءٌ ” (رواه مسلم وغيره)
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu”
(H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.


sumber dari: salafytobat.wordpress.com

Imam Hanafi dimasukkan ke dalam penjara




abuhanifa


Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Imam Abu Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.
Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.

Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.
Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.
Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut
Sebahagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mahu merosak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat.
Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya.
Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.
Pada waktu yang lain Gabenor Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.
Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gabenor.
Ketika itu gabenor menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gabenor. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gabenor dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”
Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mahu menjadi pegawai kerajaan dan tidak mahu campur tangan dalam urusan negara.
Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh gabenor. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gabenor menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.
Walaupun demikian ketika Imam Hanafi diseksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.
Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan.
Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”
Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut.
Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.
Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.
Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.
Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.
Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’iy.


sumber dari: yarasulullah.wordpress.com

Kecerdasan Imam Abu Hanifah



alquran


Muhammad bin Muqatil berkata, “Seorang laki-laki tidak dikenal datang menemui Abu Hanifah, untuk menguji kekuatan pemahaman dan kecerdasannya, seraya berujar, “Hai Abu Hanifah!” Abu Hanifah menjawab, “Labbaik wahai saudaraku.”
Laki-laki itu berkata, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki, yang tidak mengharapkan surga, tidak takut neraka, tidak takut Allah, memakan bangkai, shalat tanpa ruku’ dan sujud, ia bersaksi atas apa-apa yang tidak ia lihat, membenci kebenaran, senang terhadap fitnah, lari dari rahmat, serta mempercayai Yahudi & Nasrani?”
Abu Hanifah; “Hai fulan, engkau bertanya tentang masalah ini, apa engkau tahu jawabannya?”
Laki-laki itu; “Tidak, saya tidak tahu.”
Abu Hanifah berkata kepada sahabat-sahabatnya; ”Apa pendapatmu tentang orang ini?”
Sahabat Abu Hanifah, ”Ia adalah sejelek-jelek manusia, sifat-sifat yang ia sebutkan telah cukup untuk mensifatinya demikian.” Abu Hanifah tersenyum dengan jawaban ini, lalu berkata; ”Orang itu benar-benar termasuk waliyullah, apa engkau mau untuk mencegah lisanmu dari perkataan yang jelek?” Laki-laki itu berkata; ”Baik, saya akan menahan lidahku untuk tidak menyakiti orang lain dengan lidahku ini”
Abu Hanifah berkata; ”Adapun perkataanmu, bahwa ia tidak mengharapkan surga, dan tidak takut neraka, itu karena ia mengharapkan pemilik surga serta takut kepada pemilik neraka. Adapun perkataanmu; bahwa ia tidak takut kepada Allah, itu karena ia tidak takut bahwa Allah akan berbuat tidak adil kepadanya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT, ”Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan berbuat dhalim sedikitpun kepada hamba-Nya” (QS. Fushshilat: 46)
Adapun perkataanmu bahwa ia makan bangkai, itu karena ia makan ikan. Adapun perkataanmu bahwa ia shalat tanpa ruku’ dan sujud, itu artinya ia mengucapkan shalawat kepada NabiShallallahu Alaihi wa Sallam, atau shalat jenazah. Adapun perkataanmu bahwa ia bersaksi terhadap apa yang ia tidak lihat, itu artinya ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya.
Adapun perkatanmu bahwa ia membenci kebenaran, itu artinya ia membenci kematian, karena kematian merupakan kebenaran, ia juga mencintai keabadian sehingga ia bisa mentaati Allah SWT, sebagaimana yang difirmankan, ”Telah datang sakratul maut dengan kebenaran.” (QS. Qaf: 19)
Adapun perkataanmu bahwa ia menyukai fitnah, itu artinya ia mencintai harta dan anak, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu merupakan fitnah.” (QS. At-Taghabun: 15)
Adapun perkataanmu bahwa ia lari dari rahmat, maksudnya adalah lari dari hujan (yang merupakan gerimis dan rahmat). Adapaun perkataanmu bahwa ia mempercayai yahudi dan nasrani, maksudnya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, ”Dan orang-orang Yahudi berkata bahwa orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata bahwa orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan” (QS. Al-Baqarah: 113)
Laki-laki itu kemudian berdiri, lalu mencium kening Abu Hanifah, seraya berkata; ”Aku bersaksi bahwa apa yang engkau ucapkan itu adalah benar.”

sumber dari: ksatriapena.wordpress.com

Beberapa Nasehat Imam Abu Hanifah




mazhab


Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riwayat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engkau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebahagian orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut,
Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pisah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalau dibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. ….
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.


sumber dari: irfanirsyad.wordpress.com

Penilaian Para Ulama Terhadap Abu Hanifah






Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”.
Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.


sumber dari: irfanirsyad.wordpress.com

Mencium isteri atau suami






Mencium isteri atau suami juga dibolehkan semasa berpuasa TETAPI hanya bagi orang yang boleh menguasai nafsunya. Seelok-eloknya dijauhkan sama sekali pada waktu siang!

“Nabi (SAW) biasa mencium di waktu sedang berpuasa, dan bersentuhan dikala berpuasa, dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai nafsunya”. (Riwayat Aisyah)

Dan diterima dari Umar (RA) katanya:

“Pada suatu hari bangkitlah berahi saya maka saya cium isteri saya, sedang saya berpuasa. Lalu saya temui Nabi (SAW), kata saya kepadanya: “Hari ini saya telah melakukan perkara berat, saya mencium pada hal saya berpuasa”.

Maka ujar Rasulullah (SAW): “Bagaimana pendapat anda, jika anda berkumur-kumur sedang ketika itu anda berpuasa?”
Ujar saya: “Itu tidak apa-apa!
Sabda Nabi pula: “Maka kenapa anda tanyakan lagi?”

Berkata Ibnu Mundzir: “Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, ‘Atha’, Sya’bi, Hassan, Ahmad dan Ishak memberi keringanan atau ruksah dalam hal mencium ini.


Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafie, hukumnya MAKRUH jika merangsang syahwat atau nafsu seseorang, dan jika tidak merangsang maka tidaklah makruh, TETAPI LEBIH UTAMA MENINGGALKANNYA.

Dalam hal ini tidak ada perbezaan antara orang yang telah tua dengan anak muda, kerana apa yang penting ialah timbulnya rangsangan dan kemungkinan keluarnya air mani.
Maka jika ia membangkitkan syahwat seorang anak muda atau seorang tua yang masih bertenaga, maka hukumnya MAKRUH.

Sebaliknya jika tidak membangkitkan keghairahan, misalnya terhadap seseorang yang telah tua atau seorang pemuda yang lemah tenaganya, maka tidaklah makruh, TETAPI LEBIH BAIK DITINGGALKAN.
Juga tiada bezanya, apakah mencium itu di pipi atau di mulut dan lain-lainnya. Demikian juga halnya menyentuh dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium


sumber dari: wanibrisamfikry.wordpress.com

Aku seorang wahabi …



wahhabi


Aku seorang wahabi …
Ciriku tanda hitam di dahi …
Aku ibadah dimalam sunyi …
Celanaku cingkrang seperti tukang sapi …
Kupelihara jenggot ikut sunah nabi …

Aku tak tahu imam Syafi’i …
Aku tak tahu imam Maliki …
Aku tak kenal imam Hanafi …
Apalagi imam Hambali …

Aku tafsir Qur’an & Hadits sesuka hati …
Karena aku tak pernah ngaji …
Aku tak mau ikut mahzab islami …
Pokoknya aku bikin mahzab sendiri …
Aku bisa mengambil hukum sendiri …
Dengan modal buku dari Saudi … Akulah mujtahid abad ini …
Imam syafi’i dan Imam Bukhari ingin aku
saingi …
Jika pendapat mereka tidak sesuai, bisa aku
evaluasi …
Akulah standar kebenaran hukum islami …

Aku sering beralasan dengan tindakan nabi …
Tapi aku tak mau memuliakan turunan nabi …
Aku sering berkata ikut nabi …
Tapi kuremehkan sahabat nabi …
Aku pun tak mau ikut maulid nabi …
Bahkan tak mau kuziarahi kubur nabi …

Ya Allah … Bagaimanakah nasibku nanti … ? Na’udzubillah …


sumber dari: warkopmbahlalar.com

Wednesday 22 May 2013

Israel Demolishes Ancient Buildings Near Al-Aqsa Mosque



Israel Demolishes Ancient Buildings Near Al-Aqsa Mosque



Israeli government has been demolishing several historical buildings near Al-Masjid Al-Aqsa.
It was claimed that authorities plan to build a synagogue and a police station on the site.

Started on Wednesday morning, Israeli bulldozers continue demolishing ancient building and archways just few metres away from the al-Aqsa Mosque, one of the holiest sites of Islam.

According to a statement released from the al-Aqsa Foundation for Waqf and Heritage who showed anger towards the demolishment, and said, “On its second day, the Israeli authorities demolished ancient Islamic structures in the Old City of Jerusalem just 50 meters away from al-Aqsa Mosque.”

The Foundation’s statement claimed that the demolition touched historic buildings in the Old City and the authorities plan to build a synagogue, a reception hall, an advanced surveillance and police station, a museum, several restrooms, and a new entrance which leads to the tunnels west of the Old City Wall.



sumber dari: goodmorningturkey.com

Saturday 18 May 2013

Sejarah Terbunuhnya ‘Uthman r.a




‘Uthman dibunuh secara zalim akibat fitnah yang dibangkitkan oleh ‘Abd Allah ibn Saba’. Beliau seorang Yahudi dari Yaman yang berpura-pura mengaku Islam dan mencetuskan fitnah terhadap Khalifah ‘Uthman. Fitnahnya sampai sekarang masih dipercayai oleh golongan Syi’ah. Salah satu hasutannya adalah dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan yang akan menjadi pengganti beliau adalah Ali. ‘Abd Allah menuduh bahwa ‘Uthman telah berlaku zalim karena tidak mematuhi wasiat Nabi SAW, dikarenakan mengangkat dirinya sebagai khalifah, bukannya Ali.

‘Abd Allah mengapi-apikan masyarakat untuk bangkit dan mencerca pemimpin-pemimpin mereka yaitu ‘Uthman dan para gubernurnya. Cerita tentang keburukan ‘Uthman dan para gubernurnya semakin meluas sehingga tersebar ke wilayah lain.

Akhirnya berita jahat ini sampai juga ke telingan ‘Uthman dan beliau merasa terperanjat mendengarnya. Beliau segera mengutus wakil-wakilnya ke setiap wilayah untuk menyelidiki apakah benar berita mengenai para gubernurnya yang berlaku zalim. Beliau kemudian mengutus salah seorang sahabat Nabi SAW, Muhammad ibn Maslamah, ke Kufah. ‘Uthman juga mengutus Usamah ibn Zayd ke Basrah, ‘Ammar ibn Yasir ke Mesir dan ‘Abd Allah ibn ‘Umar ke Syam. Kesemua wakil tersebut kembali dengan membawa berita bahwa para gubernur ‘Uthman sebenarnya telah berlaku adil kepada rakyat mereka.
Selain mengirimkan wakil ke setiap wilayah, ‘Uthman juga menulis surat kepada rakyat jelata mengenai fitnah tersebut. Apabila surat ini dibaca di setiap negeri, maka rakyat jelata pun mengangis dan berkata: “Sesungguhnya telah bergerak di kalangan umat ini kejahatan yaitu fitnah yang telah menular di tengah-tengah umat”.

Tidak cukup dengan hanya percaya kepada laporan wakilnya tersebut, ‘Uthman juga memanggil para gubernurnya untuk didengar keterangan langsung olehnya. Setelah mendengar segala keterangan dari para gubernurnya, ‘Uthman pun bangun dan memuji Allah dan berkata: “Aku telah mendengar semua penjelasan kamu. Setiap perkara ada pintu yang mendahuluinya. Sesungguhnya fitnah yang ditakuti umat telah terjadi. Kita akan mencoba menghalanginya dengan bersikap lembut, memberi dan meneliti setiap keadaan, kecuali terhadap hukum-hakam Allah yang telah Allah nyatakan, karena tidak ada seorangpun yang boleh mempertikaikannya. Apa yang telah diketahui bahwa aku tidak pernah mengurangkan kebaikan untuk orang ramai juga untuk diriku sendiri. Sesungguhnya putaran fitnah itu telah berputar. Beruntunglah ‘Uthman kalau dia mati sedangkan dia tidak menggerakkan fitnah tersebut. Jagalah orang ramai, berikanlah hak mereka dan maafkanlah mereka. Namun kalau mereka melanggar larangan Allah, maka tiada maaf bagi mereka”. Inilah sikap ‘Uthman yang begitu warak dan berlapang dada terhadap rakyatnya. Sikat terlalu lembut ini telah diambil kesempatan oleh golongan yang berkhianat dan ingin merusakkan umat.

Keadaan semakin menegangkan. ‘Abd Allah ibn Saba’ dan pengikutnya mensosialisasikan rencana jahat mereka dengan bersungguh-sungguh. Pengaruh mereka di Kufah, Basrah dan Mesir semakin berkembang. Melihat keadaan ini Mu’awiyah menyarankan ‘Uthman untuk pindah ke Syam. Namun ‘Uthman menolak meninggalkan Madinah tempat di mana beliau selalu mendampingi Nabi SAW, walaupun urat tengkuknya dipotong. Mu’awiyah kemudian mengusulkan agar tentaranya di tempatkan di Madinah untuk melindingi ‘Uthman dan rakyat Madinah. Sekali lagi ‘Uthman menolak dengan alasan kehadiran tentara akan menyempitkan rezeki penduduk Madinah dan pembantu Nabi Muhammad SAW. Akhirnya Mu’awiyah berkata: “Demi Allah wahai Amir al-Mukminin! Mereka akan menyerang dan memeangimu.” ‘Uthman r.a. menjawab: “Cukuplah Allah sebagai penolong.”

Ketika pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ sampai ke Madinah, ‘Uthman mengundang mereka untuk hadir ke masjid di hadapan para sahabat agar beliau bisa menjawab segala tuduhan yang diarahkan kepadanya. Akan tetapi para sahabat menyarankan agar pemberontak itu dikenakan hukuman bunuh. Namun ‘Uthman menolaknya dengan alasan hukuman hudud hanya dikenakan kepada mereka yang telah jelas kekufurannya.

Setelah itu ‘Uthman menjawab satu-persatu tuduhan yang diarahkan kepadanya:

1. Mereka menuduh bahwa ‘Utsman tidak menqasarkan shalatnya ketika sedang bermusafir. ‘Utsman menjawab bahwa beliau tidak perlu mengqasar shalatnya karena beliau bermusafir ke negeri Makkah dimana sanak keluarganya tinggal di sana.

2. Mereka menuduh ‘Utsman telah membuat al-Hima (tanah mati yang menjadi kawasan larangan untuk menggembala ternak di dalamnya, hanya unta-unta yang dapatkan dari hasil zakat dan jihad saja yang boleh digembalakan di situ). ‘Utsman menjawab bahwa tanah mati itu telah ada sejak jaman Rasulullah s.a.w, Abu Bakar dan ‘Umar. Sekarang ini, ‘Uthman hanya menambah unta-unta zakat dan jihad saja, bukannya unta-unta milik ‘Uthman. Walaupun dulunya ‘Uthman adalah orang Arab yang paling banyak memiliki unta dan kambing, sekarang ini beliau hanya memiliki dua ekor unta saja untuk naik haji.

3. Mereka munuduh ‘Utsman mengurangi jumlah ‘mushaf Al’Quran dari banyak menjadi satu. ‘Uthman menjawab bahwa beliau hanya mengikuti perbuatan Abu Bakar dan para sahabat yang bersamanya.

4. Mereka menuduh ‘Utsman telah mengizinkan al-Hakam kembali ke Madinah setelah di hukum buang keluar daerah oleh Rasulullah s.a.w., karena suka menghidupkan fitnah di kalangan umat Islam dan bekerja sama dengan golongan kuffar. ‘Uthman menjawab bahwa Rasullulah s.a.w yang membuang al-Hakam keluar dari makkah ke Taif. Kemudian Rasulullah jugalah yang mengembalikannya.

5. Mereka menuduh ‘Uthman melantik pegawai yang masih muda. ‘Uthman menjawab bahwa beliau melantik mereka yang memiliki kemampuan dan disukai.

6. Mereka menuduh bahwa ‘Uthman memberikan harta benda orang Islam kepada keluarganya dan lebih sayang keluarganya. ‘Uthman menjawab bahwa perasaan sayangnya kepada keluarganya tidak menyebabkan beliau menzalimi rakyatnya. Harta yang diberikan ‘Uthman kepada keluargnya juga adalah harta miliknya sendiri. Beliau berkata bahwa beliau tidak akan menghalalkan harta benda orang islam (harta yang diperoleh dari pajak-pajak wilayah Islam) untuk dirinya sendiri dan orang lain.

7. Mereka menuduh ‘Uthman telah memberikan tanah kepada orang-orang tertentu. ‘Uthman berkata, tanah itu mulai dibuka oleh golongan Muhajirin dan Ansar. Kaum mujahidin yang berjihad kemudian melanjutkan pembukaan tanah itu. Di kalangan Mujahidin ada yang menetap dan dan ada yang pulang. Bagi yang pulang, ‘Uthman akan menjual tanah tersebut dengan persetujuan dari Mujahidin yang akan pulang tersebut, dan memberikan hasil penjualan tersebut kepada Mujahidin tersebut.

8. Mereka menuduh ‘Uthman telah memberikan uang hadian sebesar 100 ribu dari harta rampasan perang (al-fai’) kepada Ibn Abi Sarh yang berjasa membuka Afrika. Abu Bakar dan ‘Umar juga pernah melakukan hal yang sama. Namun karena tentara tidak setuju, maka ‘Uthman mengambil kembali uang tersebut dan memberikannya kepada para tentara.

Penjelasan tersebut membuat wakil para pemberontak terdiam. ‘Uthman memaafkan mereka dan mengizinkan mereka pulang kepada kaum mereka dalam keadaan putus asa. Para sahabat dan orang ramai meminta ‘Uthman membunuh mereka, tapi ‘Uthman menolak permintaan tersebut.

Sebenarnya tujuan pemberontak itu bukan mencari kebenaran, tapi mencari alasan yang membolehkan mengambil tindakan terhadap ‘Uthman. Untuk mencapai hasrat ini, para pemberontak yang menjadi pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ telah membuat rencana yang baru. Mereka menuju Madinah melalui tiga markas mereka yaitu Mesir, Kufah dan Basrah. Mereka berpura-pura hendak naik haji. Padahal rencana mereka adalah, setelah sampai di Madinah, mereka akan meninggalkan jamaah haji lain yang menuju Makkah dan kemudian mengepung ‘Uthman pada saat banyak penduduk Madinah yang pergi haji juga. Ada sekitar 3000 pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ yang akan mengepung Madinah.

Mereka juga memperalat nama para sahabat untuk mengaburi mata orang ramai. Para pemberontak dari Mesir kononnya mengatakan bahwa mereka akan melantik ‘Ali sebagai khalifah. Pemberontak dari Kufah menginginkan al-Zubayr ibn ‘Awwam dilantik sebagai khalifah. Sedangkan pemberontak dari Basrah menginginkan supaya Talhah ibn ‘Ubayd Allah sebagai khalifah. Namun ketiga sahabat tersebut menolak, bahkan memberitahu para pemberontak bahwa mereka semua dilaknat oleh Rasulullah s.a.w. Cerita yang mengatakan bahwa ketiga sahabat tersebut terlibat dalam pemberontakan inilah yang coba digambarkan oleh perawi Syi’ah seperti Abu Mikhnaf.

Apabila para pemberontak ini tiba di Madinah lagi, mereka sekali lagi membuat ketegangan dengan ‘Uthman. Sehubungan dengan itu sekali lagi terjadi perbincangan antara ‘Uthman dan pemberontak. ‘Uthman telah menjelaskan segala kekeliruan mereka. Para pemberontak itu berpura-pura menunjukkan rasa puas hati dan berjanji untuk taat. Mereka pun pulang ke negeri masing-masing. Penduduk Madinah lega dengan keluarnya pemberontak itu dari Madinah. Mereka merasakan segala masalah sudah berkahir. Namun perkara sebaliknya berlaku.

Sebenarnya dalam pihak pemberontak pun ada dua golongan. Golongan yang menipu dan golongan yang ditipu. Ini dibuktikan ketika para peberontak kembali ke wilayahnya masing-masing, pemberontak dari Mesir merampas sebuah surat dari seorang penunggang kuda yang mengaku wakil ‘Uthman untuk gubernur Mesir. Isi surat untuk gubernur Mesir itu adalah perintah dari ‘Uthman kepada gubernur Mesir untuk menyalib, membunuh serta memotong tangan dan kaki mereka apabila mereka tiba di Mesir. Pemberontak dari Mesir itu dengan segera kembali ke Madinah.

Mereka menemui Ali r.a. untuk segera menentang ‘Uthman. Mereka beralasan bahwa Ali r.a. pernah mengirimkan surat kepada mereka untuk menentang ‘Uthman. Tapi Ali menolak tuduhan itu. Beliau menyatakan tidak pernah menulis surat kepada pemberontak Mesir untuk memberontak terhadap ‘Uthman. Sebagian pemberontak dari Mesir itu terkejut dan saling berpandangan ketika mendengar jawaban Ali. Mereka berkata kalau bukan Ali yang menulis surat tersebut, terus siapa pula yang menulis surat ajakan untuk memberontak? Yang herannya kaum pemberontak dari Kafah dan Basrah juga ikut kembali ke Madinah. Padahal mereka tidak terlibat dengan insiden surat ‘Uthman yang menyuruh gubernur Mesir untuk membunuh para pemberontak. Jadi memang ada rencana jahat yang membuat surat palsu ‘Uthman. Tujuannya agar pemberontak itu kembali lagi ke Madinah.

Golongan munafiqin kemudian menemui ‘Uthman sekali lagi dan menunjukkan isi surat tersebut. ‘Uthman menyangkal pernah menulis surat tersebut. Para pemberontak meminta ‘Uthman turun dari jabatannya sebagai khalifah. Tapi ‘Uthman menolak karena Nabi s.a.w. pernah berkata kepada ‘Uthman apabila ada orang yang menyuruh ‘Uthman meletakkan jabatan khalifah tersebut, jangan ikuti mereka. Segala nasihat ‘Uthman tidak dipedulikan oleh kaum pemberontak tersebut, karena tujuan mereka sebenarnya untuk membunuh ‘Uthman. Mereka terus mengepung ‘Uthman dan terus bersikap biadap terhadap khalifah tersebut. Kepungan bertambah hebat apabila ada berita yang menyatakan tentara Islam bersiap-siap menuju Madinah.

Ibn ‘Abbas yang mengepalai jamaah haji dari Madinah memberitahui umat Islam apa yang terjadi Madinah. Mendengar berita tersebut, para jamaah haji tersebut berniat untuk segera menuju ke Madinah setelah haji mereka selesai untuk mempertahankan khalifah. Pada saat yang sama, Mu’awiyah gubernur ‘Uthman di Syam segera mengutus tentaranya di bawah pimpinan Habib ibn Maslamah seorang sahabat Nabi s.a.w.

Apabila kaum pemeberontak mendengar berita kedatangan tentara tersebut, mereka mempercepat rencana mereka. Mereka segera membakar pintu rumah ‘Uthman. Masyarakat dan para sahabat yang ada berusaha melindungi ‘Uthman, di antaranya adalah ‘Abd Allah ibn al-Zubayr, Abu Hurayrah r.a., dan anak Saydina Ali, Saydina Hasan. Ramai di kalangan sahabat yang cedera bahkan ada juga anggota masyarakat yang terbunuh.

Jadi tidak benar seperti tuduhan Syi’ah sampai saat ini yang menyatakan bahwa para sahabatlah yang sebenarnya hendak menjatuhkan ‘Uthman. Yang sebenarnya adalah para sahabat dari wilayah Islam berdatangan ke Madinah untuk mempertahankan ‘Uthman. Dari Kufah ada ‘Uqbah ibn ‘Amar. Ada juga ‘Abd Allah ibn Abi Awfa. Dari Basrah bangkit ‘Imran ibn Husayn. Dan banyak lainnya.

Para pemberontak itu juga sangat kejam. Mereka menahan air yang hendak diberikan kepada ‘Uthman oleh istri Nabi, Umm al-Mukminin Umm Habibah. Para pemberontak itu memukul tunggaannya dan lari, hingga hampir menyebabkan beliau hampir terbunuh. Jadi tidak heran dalam buku-buku Syi’ah banyak menghina istri-istri Nabi s.a.w dengan tuduhan yang kotor.

Ketika keadaan menjadi gawat, ‘Uthman melarang para sahabat menghunuskan senjata bahkan meminta mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Keadaan ini membuat para sahabat merasa serba salah. Mereka tahu ‘Uthman harus ditolong, tapi ‘Uthman telah menggunakan kuasa khalifahnya yang wajib ditaati dengan melarang mereka menghunuskan senjata.

Pada hari para pemberontak itu membunuh ‘Uthman, beliau sedang berpuasa. Pada hari yang sama beliau memerdekakan 20 orang budak. Beliau juga meminta untuk memakai celana, padahal beliau tidak pernah sekalipun memakai celana panjang. Beliau memberitahu mereka yang bersama-samanya: “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah s.a.w, Abu Bakr dan ‘Umar di dalam mimpiku, mereka berkata kepadaku: ‘Bersabarlah! Engkau akan berbuka puasa di sisi kami nanti.’ “. Kemudian ‘Uthman meminta al-Quran untuk dibaca. Kemudian beliau dibunuh ketika sedang membaca al-Quran. Lebih menyayat hati apabila para pemberontak itu memasuki rumah ‘Uthman, mereka memukul ‘Uthman dengan besi dan memijak Al-Quran yang sedang dibacanya. Darah ‘Uthman menitis di atas mashaf. Istri ‘Uthman pula dipotong jarinya. Pembunuh ‘Uthman bergelar al-Mar’u al-Aswad. Ada kemungkinan al-Mar’u al-Aswad adalah ‘Abd Allah ibn Saba’. Ini karena dia turut hadir bersama-sama para pemberontak.

Barang siapa yang membaca peristiwa tersebut maka akan timbul perasaan marah, benci dan dendam terhadap mereka yang terlibat dalam konspirasi jahat tersebut. Sudah pasti yang hidup pada jaman itu, lebih membara lagi kemarahannya.

Inilah keadaan yang harus dihadapi oleh Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. pada masa pemerintahannya. Perasaan marah yang lahir dari keimanan para sahabat yang mendesak agar segera diambil tindakan terhadap para pembunuh ‘Uthman r.a., sedangkan suasana pemerintahan ‘Ali ketika itu tidak mengizinkan. Di sinilah bermulanya fitnah yang besar di kalangan para sahabat.






sumber dari: nuralih.wordpress.com