Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, Katakanlah (Muhammad),
‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)
(Al-Kahfi:109).

Sunday 23 December 2012

Masjid Ja’ronah, Makkah






Satu lagi masjid yang menjadi saksi bisu mukjizat Rasulullah SAW, yaitu Masjid Ja’ronah. Masjid ini adalah salah satu lokasi para jamaah haji atau umrah mengambil miqat. Miqat adalah titik awal para jamaah berniat haji atau umrah.

Sebelum menjadi masjid, tempat ini hanya sebuah perkampungan yang bernama Wadi Saraf yang sepi. Tidak ada apa pun selain sebuah sumur. Tempat ini juga beberapa kali dijadikan lokasi miqat oleh Rasul. Untuk menandai, maka dibuatlah sebuah masjid.

Lagi-lagi jika dilihat dari luar, tidak ada yang istimewa dari masjid ini. Semua tampak normal dan biasa saja, tapi cobalah bertanya pada pemandu wisata umrah atau haji Anda, sebuah cerita menarik tersimpan di sana. Ternyata, di balik dinding kokoh masjid, tersembunyi kisah tentang sumur yang airnya bisa menyembuhkan penyakit.

Menengok sejarah, Ja’ronah ternyata menjadi persinggahan Rasulullah SAW dan rombongan setelah perjalanan jauh. Suatu ketika, Ja’ronah dikunjungi Rasul bersama pejuang Islam lain setelah Perang Hunain. Karena persediaan air habis dan di sana tidak terdapat sumur, Rasul memukul tongkatnya lalu keluarlah air.
Kemudian menyebarlah cerita tentang keberadaan sumur yang berasal dari ketukan tongkat Rasul. Berbekal niat jahat dan ingin membunuh Rasul, mereka pun menebar racun di dalam sumur tersebut.

Atas petunjuk Allah, Rasul pun mengetahui niat jahat kaum musyirikin itu. Kemudian, dengan mukjizat, Rasul pun meludahi sumur tersebut. Seketika air sumur yang tadinya beracun menjadi tawar. Bahkan, sumur ini bisa untuk menyembuhkan penyakit kulit.

Sayangnya, saat ini sumur bersejarah ini telah ditutup oleh Pemerintah Arab Saudi untuk mencegah syirik atau perbuatan menyekutukan Allah. Meski begitu, Anda tetap merasakan kehadiran Rasulullah ketika berada di Masjid Ja’ronah.



sumber dari: kisahrosululloh.wordpress.com

Masjid Pohon, Makkah






Masjid keempat yang sayang dilewatkan saat berada di Makkah adalah Masjid Pohon atau Syajaroh. Sama dengan Masjid Al Jin, Masjid Pohon juga sangat terkenal karena sejarahnya.

Sejarah Islam mengatakan dulu Rasulullah SAW pernah berhadapan langsung dengan para jin kafir di masjid ini. Kala itu, para jin memang sengaja datang untuk bertemu Rasul, mereka mempertanyakan dan meminta bukti atas kerasulan Rasulullah SAW.

Sebagai pembuktian, Rasul pun memanggil sebuah pohon yang berada tak jauh dari masjid untuk datang menghampiri mereka. Atas izin Allah, pohon yang dipanggil Rasul pun tercabut dari tanah dan datang menghampiri Rasul.

Selesai membuktikan salah satu tanda kerasulan, Nabi SAW memerintahkan pohon kembali ke tempat asalnya. Lalu bagaimana dengan jin? Mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW dan memeluk Islam.

Saat ini, Masjid Syajaroh yang berada tepat di depan Masjid Al Jin menjadi destinasi wisata religi bagi umat Islam. Selain cerita yang melatarbelakangi penamaan masjid, Masjid Pohon juga dikunjungi untuk mengagumi mukjizat Nabi Muhammad SAW.



sumber dari: kisahrosululloh.wordpress.com

Masjid Al Jin, Makkah






Dari Madinah, kini kita berpindah ke Makkah. Mungkin Anda sedikit bertanya-tanya, kenapa masjid ini diberi nama Al Jin? Apakah masjid ini tempat para jin salat? Ternyata bukan, masjid ini adalah saksi bisu ketika jin kafir memutuskan hijrah dan memeluk agama Islam.

Kisah di balik penamaan masjid ini pun begitu terkenal di kalangan peziarah. Jadi, ketika itu diceritakan Rasulullah sedang melafazkan Al Quran di dalam masjid.

Mendengar suara Rasul yang begitu merdu, para jin pun mendekati Rasulullah. Mereka pun menyatakan diri masuk Islam langsung di hadapan Rasulullah. Inilah asal usul mengapa diberi nama Masjid Al Jin.

Tidak seseram namanya yang mengambil kata Jin, Masjid Al Jin atau yang juga biasa disebut Masjid Bai’at justru memberikan kesejukan bagi setiap peziarah yang datang untuk salat. Warna abu-abu yang mendominasi bangunan menambah kesejukan bagi setiap peziarah.



sumber dari: kisahrosululloh.wordpress.com

Masjid Qiblatain, Madinah






Jangan kaget begitu lihat ada dua mimbar imam salat saat berada di Masjid Qiblatain. Anda tidak salah lihat, masjid yang berada di Jalan Khalid bin Al Walid, Madinah memang terkenal dengan dua arah kibat.

Dulu, sebelum menghadap Kabah, kiblat umat Islam menghadap Baitul Maqdis di Yerussalem. Kemudian, di masjid inilah untuk pertama kalinya arah kiblat diputar menjadi ke arah Kabah.

Saat itu diceritarakan Rasulullah SAW sedang salat berjamaah dengan para sahabat. Kemudian turunlah wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk memutar arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kabah di Makkah. Mendengar perintah itu, Rasulullah pun langsung memutar arah kiblat.

Untuk mengenang perubahan arah kiblat, maka masjid ini pun diberi nama dengan Masjid Qiblatain. Bukan cuma itu, untuk lebih mengenang dan seolah membawa peziarah yang datang serasa berada di zaman Rasul, mimbar imam ketika salat menghadap Baitul Maqdis masih ada di sana.

Tidak percaya? Datang saja langsung dan lihat sendiri. Mimbar imam yang pertama masih berupa pasir dan tidak ada sajadahnya. Sebaliknya, mimbar yang sekarang dan menghadap Kabah telah memiliki mimbar khusus lengkap dengan sajadah.

Saat ini, Masjid Qiblatain menjadi salah satu destinasi yang tidak boleh dilewatkan para jamaah haji atau pun umrah, terutama saat berada di Madinah. Mereka ingin melihat sendiri bagaimana bentuk saksi bisu perubahan arah kiblat.



sumber dari: kisahrosululloh.wordpress.com

Masjid Al Ijabah, Madinah






Masjid pertama yang menyimpan sejarah kehidupan Rasulullah adalah Masjid Al Ijabah. Masjid ini berada di Jalan Malik Fadh, Madinah, tepatnya sekitar 385 meter dari Pemakaman Baqi.

Jika dilihat dari luar, mungkin masjid ini tampak biasa saja, tidak ada yang spesial dari bangunannya. Tapi jika ditelusuri, ternyata keistimewaan itu muncul di balik namanya.

Ijabah berarti dikabulkan. Ya, masjid yang memiliki luas 1.000 m2 ini diberi nama Al Ijabah karena dulu Rasulullah pernah berdoa di sana dan dikabulkan oleh Allah SWT saat itu juga.

Ada tiga doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad, pertama Nabi SAW memohon agar Allah tidak membinasakan umat Muhammad dengan kekeringan dan kelaparan. Doa ini langsung dijawab dan dikabulkan oleh Allah. Kemudian, Rasul pun kembali berdoa. Di doa keduanya, Rasul memohon agar Allah tidak membinasakan umat Muhammad dengan menenggelamkan. Doa ini juga dikabulkan Allah.

Setelah doa kedua dijawab Allah, Rasul pun kembali berdoa. Di doa yang ketiga, Rasul memohon kepada Allah agar di kalangan umatnya tidak ada fitnah dan perbedaan. Sayangnya, tidak seperti doa pertama dan kedua yang langsung dikabulkan, doa ketiga ini ditunda oleh Allah SWT. Inilah sejarah di balik penamaan masjid.



sumber dari: kisahrosululloh.wordpress.com

Wednesday 19 December 2012

Mengenal Para Imam Masjidil Haram






Perhatian setiap muslim tertuju kepada dua tanah haram (suci) Makkah dan Madinah, tidak ketinggalan juga terhadap para imamnya. Mereka memiliki popularitas dan kedudukan yang mulia di hati kaum muslimin. Karena banyaknya pembaca yang bertanya tentang mereka, maka dengan senang hati kami suguhkan biodata ringkas tentang imam-imam tersebut.

1. Syaikh DR. Su’ud bin Ibrahim as-Syuraim

Lahir pada tahun 1386 H, di Saqra` Riyadh.
Beliau kuliah pada fakultas Ushuluddin di Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah. Lulus pada tahun 1409 H, kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Ma’had ‘Ali untuk para hakim, hingga beliau mendapatkan gelar Magister pada tahun 1413 H.
Pekerjaan beliau, mantan hakim, pengajar di Masjidil Haram, Dekan fakultas Syari’ah di Jami’ah Ummul Qura’ Makkah.
Tahun penentuan beliau sebagai Imam di Masjidil Haram adalah tahun 1414 H.
Beliau memiliki sejumlah besar onta, yang beliau habiskan sebagian waktu dengannya.
Beliau memberikan perhatian besar dalam mensyarah kitab Tauhid di Masjidil Haram.
Beliau terkenal dengan syair dan kalimat-kalimat yang lembut yang menyentuh.
Diantara karya tulis beliau adalah al-Syamil fil Khathib wal-Khuthbah, sudah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia dan diedit oleh Ustadz Agus Hasan Bashori (pimred Qiblati) dengan judul Ensiklopedi Khuthbah atau panduan khathib, atas izin beliau oleh penerbit Darus sunnah Jakarta.

2. Syaikh DR. Shalih bin Abdillah Alu Humaid

Lahir pada tahun 1369 H di Buraidah.
Beliau mengambil gelar doktor pada bidang Fiqih dan Ushulnya pada tahun 1402 H.
Profesi beliau adalah Ketua Majelis Syura, dan anggota Haiah Kibarul Ulama.
Beliau ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada 1 Muharram 1404 H.
Beliau mengimami sekali dalam sebulan, yaitu untuk shalat Subuh. Sedangkan sebagian besar waktunya beliau habiskan di Riyadh untuk urusan tanggung jawab terhadap Majelis Syura. Beliau datang sekali sebulan untuk khutbah Jum’at.
Beliau memberikan perhatian besar terhadap tafsir al-Qur`an al-Karim.

3. Syaikh DR. Shalih bin Muhammad Alu Thalib

Beliau lahir pada tahun 1393 H di Riyadh.
Beliau ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada tahun 1423 H.
Beliau bekerja sebagai Qadhi di Pengadilan Tinggi Makkah. Beliau sangat cakap dalam pekerjaan beliau sebagai hakim dan teguh saat memberikan keputusan.

4. Syaikh DR. Usamah bin ‘Abdillah Khayyath

Beliau lahir pada tahun 1375 H di Makkah al-Mukarramah.
Syaikh Usamah mendapatkan ijazah sanad dalam meriwayatkan kutubus sunnah dan seluruh kitab induk hadits lainnya.
Beliau belajar di Makkah dan lulus dari Fakultas Kitab dan Sunnah pada tahun 1396 dengan predikat cumlaude dan menduduki peringkat pertama.
Profesi beliau adalah pengajar di Masjidil Haram, mantan Anggota Majelis Syura, Dosen di Fakultas Syari’ah Jami’ah Ummul Qura’.
Beliau ditetapkan sebagai imam Masjidil Haram pada tahun 1418 H.
Beliau dikenal dengan gaya bahasa penyampaian yang kuat, yang mampu menggetarkan hati. Beliau adalah satu-satunya imam masjid yang ayahandanya adalah seorang imam dan khatib masjidil Haram. Dan ayahanda beliau tergolong Imam Masjidil Haram yang paling terkenal di akhir-akhir ini.

5. Syaikh DR, Abdurrahman bin ‘Abdil ‘Aziz as-Sudais

Syekh Sudais lahir pada tahun 1382 di Riyadh. Dia menjadi Hafidzul Qur’an pada usia 12 tahun, di masjid kota Riyadh yang dikepalai oleh Syaikh Abdul Rahman al-Faryan. Beliau juga diambil oleh Syaikh Muhammed Ali Hussan and Syaikh Muhammed Abdul Majid Zakir untuk menerima berbagai beasiswa.
Syaikh Abdul Rahman tumbuh di Riyadh beliau mencapai pendidikan dasar `Mathna bin Hartha` semacam akademi ilmu pengetahuan. Di sana beliau belajar di bawah berbagai macam beasiswa termasuk dari Syaikh Abdullah Munaif and Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman al Tuwayjiri. Dr. Abdul Rahman lulus dari akademi ini dengan predikat “Excellent” tahun 1399H dan melanjutkan ke Fakultas Syari’ah. Setelah itu beliau menjadi Imam dan Khotib di Masjid Syaikh al-Allam Abdul Razzaq Afifi. Beliau juga mulai mengajar di Akademi Imam al-Dawa Al-Almy.
Pada tahun 1404 beliau ditunjuk sebagai Imam dan Khotib Masjid al-Haram, Makkah. Di sana pertama kalinya beliau menjadi imam pada sholat Ashr tanggal 22 Sya’ban 1404H (22 Agustus 1404H). Khutbah pertama pada hari kelima belas bulan Ramadhan 1404H (15 September 1404H). Dalam tahun yang sama, Dr. Abdul Rahman mendapat gelar Master Degree, dengan predikat “Excellent” dari Universitas Syari’ah Imam Muhammad bin Saud. Beliau dilimpahi wewenang untuk menjadi guru asisten di Universitas terkemuka Ummul Qura’, Makkah, di mana beliau mendapatkan gelar Doktornya, dan lagi-lagi lulus dengan predikat “Excellent” pada tahun 1416H. Beliau ditunjuk menjadi Dosen Fakultas Syari’ah di Universitas Ummul Qura’.
Dan beliau ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada tahun 1404 H saat umur beliau 22 tahun.

6. Syaikh Mahir bin Hamd al-Mu’aiqili

Beliau dilahirkan al-Madinah al-Munawwaroh. Beliau habiskan usianya di Madinah, kemudian beberapa tahun yang lalu pindah ke Makkah al-Mukarramah sebagai pengajar di Sekolah Menengah.
Beliau diangkat sebagai Imam Masjidil Haram pada tahun 1428 H, yang sebelumnya beliau adalah Imam Masjid Nabawi pada tahun 1427 H.

7. Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah as-Subayyil

Beliau lahir pada tahun 1345 H, di Qashim.
Beliau adalah anggota Kibarul Ulama, dan anggota al-Majma’ al-Fiqhi.
Beliau adalah mantan Ketua Umum Urusan Masjidil Haram Makkah dan Madinah juga anggota Haiah Kibarul Ulama.
Beliau diangkat sebagai Imam Masjidil Haram pada tahun 1385 H.
Mulai tahun ini, beliau tidak mungkin mengimami di Masjidil Haram karena usia beliau yang sudah lanjut, juga karena kondisi kesehatan beliau. Mudah-mudahan Allah I menyembuhkan beliau. Sudah bertahun-tahun beliau mengimami shalat ‘Isya`. Beliau tergolong Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang paling lama.

8. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Awad al-Juhani

Beliau lahir pada 1396 H di Madinah.
Beliau belajar di Fakultas al-Qur`anul Karim di Jami’ah Islamiyah.
Beliau termasuk yang dimuliakan oleh Allah I sebagai imam dari keempat masjid yang memiliki kedudukan terbesar di hati kaum Muslimin, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Quba’ dan Masjid Qiblatain.
Beliau sekarang adalah Mahasiswa S2 di Ummul Qura’. Pada usia 16 tahun beliau telah mengikuti lomba hafal Qur`an di Makkah dan memperoleh peringkat pertama.
Dalam hal membaca al-Qur`an beliau telah diijazahi oleh para ulama Qiraah yang bertaraf Internasional yang terkenal di antaranya adalah: Syaikh az-Ziyat j , Syaikh Ibrahim al-Akhdhor Ulama ahli Qur`an di Masjidil Haram, dan DR. ‘Ali al-Khudzaifi, Imam Masjid Nabawi di Madinah.

9. Syaikh DR. Khalid al-Ghamidi

Lahir pada tahun 1388 H di Makkah.
Ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada bulan Dzul Hijjah tahun 1428 H, hanya saja beliau tidak mulai mengimami kecuali pada bulan Muharram tahun ini (1429 H).
Beliau meraih gelar Magister dan doktoral dalam bidang tafsir di Jami’ah Ummul Qura’.

10. Syaikh DR. Faishal Ghazawi

Lahir pada tahun 1388 H di Makkah al-Mukarromah.
Ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada bulan Dzul Qa’dah 1428 H. Hanya saja beliau tidak mulai mengimami shalat kecuali bulan Muharram tahun ini.
Beliau meraih gelar Magister dan doktoral di Jami’ah Ummul Qura’.
Saat ini beliau bekerja di Fakultas Qiraah di Universitas yang sama.
Dengan demikian, jumlah imam masjidil Haram adalah sepuluh orang. Masing-masing imam memiliki imam cadangan yang siap mengganti saat imam tersebut berhalangan hadir.
Masing-masing Imam mendapatkan santunan bulanan sekitar 10 ribu riyal, dan ini bukanlah termasuk gaji pokok, namun ini hanyalah gaji tambahan, karena masing-masing imam memiliki pekerjaan tetap di berbagai Universitas dengan gaji yang lebih besar dari gaji sebagai Imam.
Inilah sekelumit biografi singkat tentang orang-orang yang mencurahkan jiwa dan kesungguhan mereka demi melayani agama ini. Mudah-mudahan Allah I membalas mereka dengan sebaik-baik balasan, dan mudah-mudahan Allah I menjadikan kita dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung dengan keridhaan-Nya. 



sumber dari: jauharina.wordpress.com

ALLAH menguji ku di Masjidil Haram





Stibanya di makkah kami memutuskan brkt ke haram untk lanjutkan umrah stlh maghrib. Rombonganpun brkt dg mngendarai bis dr maktab.

Ujian ptama dtg. Di dlm bis, ada 1 jamaah yg tiba tiba mengomel mrasa tdk puas dgn kerja tenaga medis. Mmg sejak tiba di makkah jamaah satu ini sdh bikin masalah. Bahkan baru msk pondokan sdh mau berantem dgn jamaah lain. Dia bilang tenaga medis ga pernah datang ke kamar kamar. Katanya ada yang sampai dibawa ke sektor tenaga medis ga tau. Lucunya dia ga tau kalo saya sendiri yg ngantar jamaah tsb. Uda tau gt tetep aja dia ngeyel.. Alhamdulillah saya msh ingat larangan berjidal ketika ihrom. Jd cukup saya jawab: “usul anda saya tampung” he2. Akhirnya terdiam dia.

Ujian ke2 dtg. Kali ini tjd stlh slesai umrah dan mau beranjak keluar masjid. Sandal yg saya taruh hilang. Dalam hati saya langsung tertawa.. Hehe.. Alloh sdg menguji saya. Dideket sandal saya yg cm tertinggal kiri saja itu ada 2 buah sandal yg mirip punya saya tp cm kanan sj. Skali lagi aku tertawa. He2. “Alloh mengajak bercanda km zak” ktku dlm hati. Ku teringat thn 2007 bln ramadan saat diajak umrah Pakdè, aku pnh mlakukan hal konyol. Dulu saat sandalku hilang gr2 dìsapu cleaning service, aku pnh pinjem sandal org tanpa permisi (alias ghosob) untk beli yg br ddpn masjid. Akibat kbodohan itu 100 dollarku ga ktemu smp skarang. He5, tringat itu aku bjanji ga akan mngulanginya lg meskipun tmn2 blg “uda, paling ktuker, bw aja tu”. Aku ttawa n blg tdk.

Subhanallah, kira2 krg 1 langkah aku keluar pintu masjid, tb2 pandangan mataku terarah ke sisi kiri agak jauh.. “sandal kananku ktemuu” Allah akbar. Aku bnr2 diuji.


sumber dari: azzakky.wordpress.com

Monday 10 December 2012

melakukan solat jamak biarpun kita tidak musafir






Soalan : Selama ini saya hanya melakukan solat jamak dan qasar semasa balik kampung sahaja. Saya baru tahu bahawa kita boleh melakukan solat jamak biarpun kita tidak musafir. Boleh Ustaz jelaskan?

Jawapan:

Solat jamak dan qasar adalah keringanan daripada Allah s.w.t untuk kita. Keringanan itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu sahaja. Selain daripada keadaan tersebut, semua solat fardu mesti dilakukan pada masa dan bilangan rakaat yang telah ditetapkan.

Allah berfirman, maksudnya “Sesungguhnya solat adalah kewajipan (yang telah ditetapkan” ke atas orang beriman pada masa-masanya” Surah al-Nisa ’4:103

Adalah berdosa sesiapa yang menjamakkan atau mengqasarkan solat tanpa sebab yang dibenarkan syarak. Umar al-Khattab pernah berkata: “Termasuk dosa besar adalah menjamakkan solat tanpa uzur” (Riwayat al-Baihaqi).

Sebab yang membolehkan solat Qasar berbeza dengan solat jamak. Para ulama sepakat bahawa qasar hanya boleh dilakukan oleh musafir dalam perjalanan jauh sahaja. Firman Allah s.w.t yang bermaksud: ” Dan apabila kamu bermusafir, maka tidak mengapa bagi kamu mengqasarkan solat jika kamu khuatir gangguan daripada orang kafir..”(Surah al-Nisa 4:101)

Imam al-Nawawi berkata “Boleh qasar dalam perjalanan untuk solat Zuhur, Asar dan Isyak. Tidak boleh bagi solat Subuh dan Maghrib. Juga tidak boleh qasar dalam keadaan tidak musafir. Ini adalah perkara yang menjadi ijmak para ulama” (Al-Majmu’ jil.4. hlm.148)

Jamak solat disebabkan kesulitan.

Adapun solat jamak pula boleh dilakukan ketika bermusafir dan beberapa sebab lain. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, jamak takdim boleh dilakukan pada saat hujan lebat di Masjid bagi orang yang solat berjemaah.

Mazhab Syafi’i pula membolehkan jamak untuk Zuhur dan Asar, atau Maghrib dan Isyak. Manakala mazhab Maliki dan Hanbali hanya membolehkan jamak ini bagi solat Maghrib dan Isyak sahaja.

Mazhab Hanbali turut menetapkan bahawa selain musafir dan juga, menjamakkan solat juga dibolehkan kerana sakit dan hajat yang mendesak. Alasannya, kedua-dua perkara ini menyebabkan kesukaran melebihi kesukaran yang dihadapi oleh musafir dan orang yang ditimpa hujan. Jika bermusafir dan hujan boleh menjadi alasan untuk dijamakkan solat, maka sakit dan hajat yang mendesak tentu lebih boleh lagi.

Walaubagaimanapun, faktor sakit dan keperluan mendesak ini tidak dibenarkan dalam mazhab Syafi’i secara dasarnya. Namun begitu, tidak sedikit ulama mazhab Syafi’i antaranya Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’nya yang menyokong bahawa dibolehkan menjamakkan solat solat kerana sakit. Al-Khatib al-Syarbini juga berkata dalam Mughni al-Muhtaj dan al-Iqna: “Pendapat ini lebih sesuai dengan keindahan syariat Islam”.

Mazhab yang paling sempit dalam soal solat jamak ialah mazhab Hanafi. Mereka hanya membolehkannya untuk jemaah haji ketika wuquf di Arafah dan mabit (bermalam) di Mina sahaja.



sumber dari: alustaz.net

bolehkah dijamakkan solat bagi kes-kes terdesak






Saya inginkan kepastian, bolehkah dijamakkan solat bagi kes-kes terdesak seperti seorang doktor bedah yang menjalankan pembedahan atau seorang pelajar diluar negara yang sedang menduduki peperiksaan?

Jawapan:

Kebanyakkan ulama tidak membolehkan jamak solat dalam kes-kes ini. Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i tidak memberi pilihan kecuali mesti melaksanakan solat pada masanya. Jika tidak mampu, maka ia wajib mengqada solat yang ditinggalkan. Ia tidak berdosa insya-Allah kerana alasan tersebut.

Hanya mazhab Hanbali yang membuka kelonggaran dalam kes-kes seperti ini. Menurut mazhab Hanbali, sesorang boleh menjamakkan solat kerana kerperluan penting yang tidak dapay dielakkan. Seorang doktor bedah yang menjalankan pembedahan untuk menyelamatkan nyawa memerlukan masa yang panjang, maka boleh baginya menjamakkan solatnya. Dia boleh memilih antara jamak takdim atau jamak takhir sesuai dengan keadaannya.

Begitu juga seorang polis trafik yang bertugas menjada lalu lintas sekitar waktu Maghrib hingga Isyak yang tidak mampu melakukan solat pada masanya. Maka boleh baginya menjamakkan kedua-dua solat tersebut mengikut mazhab Hanbali.

Fatwa Ulama Semasa

Kedua-dua isu ini turut difatwakan oleh Dr Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fatawa al-Mua’sarah.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, solat jamak dibolehkan bagi pekerja Muslim yang berkerja dengan syarikat yang tidak memberi peruntukan masa untuk solat dan dia juga tidak berkesempatan melakukan dalam waktu-waktu akibat jenis pekerjaannya.

Begitu juga halnya sesorang yang bertugas mengawasi alat-alat tertentu setiap saat dan tidak dapat meninggalkannya walau hanya sekejap. Demikian penjelasan beliau dalam Qadaya al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’asir.

Jangan Sewenang-wenangnya

Walau bagaimanapun, kita sangat dianjurkan agar mengatur masa dengan baik agar dapat melaksanakan solat tepat pada waktunya. Kita tidak boleh menjamakkan solat sewenang-wenangnya. Keperluan dan desakan ringan seperti menguruskan kenduri perkahwinan, menjadi pengantin, membeli belah di pasar dan lain-lain tidak boleh dijadikan sebab. Justeru dalam semua kes ini, kita tetap dituntut menjaga solat pada masa-masanya.

Takutlah kepada Allah s.w.t yang Maha Mengetahui gerak hati setiap manusia. Allah Maha Tahu siapa yang benar-benar layak mendapat keringanan dan siapa yang tidak. Seorang Muslim yang baik selalu berusaha melaksanakan solat dengan sempur dan tidak mencari-cari keringanan. Mementingkan solat petanda ketinggian darjat sesorang di sisi Allah s.w.t Wllahu a’lam.



sumber dari: alustaz.net

Aurat Perempuan dalam Interaksi Sosial






Imam Syafi’i dan Maliki menyatakan, melihat aurat sendiri tidak haram, tetapi hukumnya makruh, kecuali dalam keadaan darurat sehingga diperbolehkan.

Bersama Muhrim

Ulama mazhab berbeda pendapat tentang anggota badan yang wajib ditutupi dari pandangan muhrimnya yang laki-laki selain suaminya. Sedangkan sesama perempuan yang merupakan familinya, masih diperbolehkankan, namun masih dalam batas kewajaran sebagaimana surah An-Nuur ayat 31.

Menurut Hanafi dan Syafi’i, bila berada di hadapan muhrimnya, mereka diwajibkan menutupi aurat antara pusar dan lutut. Sedangkan Maliki dan Hambali menyatakan, bila dihadapan sesama perempuan wajib ditutupi antara pusar dan lutut sedagkan di hadapan muhrimnya yang laki-laki adalah seluruh badannya kecuali bagian yang ujung-ujungnya seperti kepala dan dua tangan.

Di hadapan Laki-laki lain

Seorang perempuan, apabila berada di hadapan laki-laki lain selain suami dan anggota muhrimnya, maka ia wajib menutup seluruh badannya. Dan para ulama telah menyepakati hal ini. Mereka berpandangan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, bahwa perempuan itu adalah aurat.
Dan bila berada di hadapan laki-laki yang bukan muhrimnya ini, maka anggota badan yang boleh terlihat hanyalah muka dan dua telapak tangan. ”Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya hingga ke dadanya.” (QS An-Nuur: 31).
Pandangan ini berlaku dalam setiap kesempatan, baik di rumah, bertetangga, maupun saat berinteraksi sosial dengan masyarakat umum.

Dr Yusuf al-Qaradhawi, menyatakan, Islam tidak melarang hubungan laki-laki dan perempuan. Namun demikian, kata dia, Islam mengajarkan etika dan adab yang harus dipatuhi dalam pergaulan tersebut, yakni bagi seorang perempuan hendaknya menutup auratnya dan memakai pakaian yang sopan, yakni longgar dan tertutup (tidak menampakkan anggota tubuh).

Sementara itu, Abdul Halim Abu Syuqqah, menyatakan perempuan diperbolehkan berinteraksi sosial namun mereka memiliki kewajiban untuk mematuhi adab, etika, dan moral, dalam pergaulan. Adab pergaulan itu antara lain, menutupi auratnya kecuali wajah, tangan, dan kaki; sederhana dalam berpakaian; menggunakan pakaian yang longgar dan tidak transparan; berbeda dengan pakaian laki-laki; dan berbeda dengan wanita non-Muslim. 

Waallahua’lam.



sumber dari: z4lf4.wordpress.com

pemakaian inai






Dari segi bahasa inai bermaksud bahan yang digunakan untuk memerahkan kuku atau jari. Dalam bahasa Arab inai dipanggil Al-Hinnaa' atau henna. Berikut adalah hukum pemakaian henna, bagi kaum Adam dan Hawa, berdasarkan mazhab-mazhab dan hadis-hadis tertentu.

Mazhab Hambali menyatakan bahawa kaum lelaki mahupun perempuan dibolehkan atau diharuskan untuk mewarnakan mana-mana bahagian anggota badan mereka dengan henna kecuali di bahagian kepala.

Manakala mazhab Syafie pula berpendapat bahawa kaum lelaki diharuskan memakai henna pada mana-mana bahagian tubuh badan kecuali tangan dan kakinya. Walau bagaimanapun ia dibenarkan sekiranya melibatkan hal-hal perubatan atau darurat. Bagi kaum perempuan yang berada di dalam iddah kerana kematian suaminya pula dilarang memakai inai.

Imam An-Nawawi Rh dalam fatwa Al-Majmu' berkata lelaki diharamkan memakai inai pada tangan dan kaki kecuali pada rambut mereka. Manakala wanita yang telah bersuami, diharuskan memakai henna di tangan dan kaki mereka.

Berdasarkan mazhab Hanafi dan Maliki pula, lelaki dan perempuan diharamkan ke atas mana-mana tubuh anggota kerana ia adalah sama seperti memakai wangian.

Ini diriwayatkan daripada Khawlah Bint Hakim daripada ibunya, bahawa Rasulullah S.A.W memberitahu kepada Umm Salamah, "Jangan memakai sebarang wangian ketika kamu berada di dalam ihram. Juga pada henna kerana ia juga adalah wangian." (Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam Al-Ma'rifah, dan Ibn Abdil Barr di dalam At-Tamheed)

Diriwayatkan dari Aishah bahawa seorang wanita mengisyaratkan di belakang tabir bahawa dia ingin menyampaikan surat kepada baginda S.A.W. lalu baginda melihat tangan itu seraya baginda bersabda: "Aku tidak tahu sama ada ini tangan lelaki atau perempuan." Perempuan itu menjawab: "Aku adalah seorang wanita." Baginda bersabda: "Sekiranya kamu seorang perempuan, berbezalah dengan memakai henna (inai) dijarimu." (Hadith Riwayat Abu Dawud)

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahawa seorang mukhannath (khunsa) yang mewarnakan tangannya dengan henna (inai) dibawa ke hadapan Rasulullah. Dikatakan kepada Rasulullah S.A.W: "Wahai Rasulullah. Lelaki ini cuba menyerupai wanita." Lalu lelaki itu dihalau dari al-baqi' (sebagai hukuman, dihantar ke tempat yang terpencil supaya dijauhi dari orang ramai). Lalu mereka bertanya kepada rasulullah S.A.W: "Kenapa dia tidak dibunuh?" Lalu baginda S.A.W bersabda: "Aku dilarang membunuh mereka yang bersembahyang." (Diriwayatkan oleh ABu Dawud, Sahih Al-Jaami', 2502)

Tiga hadith di dalam hal ini, wanita diharuskan memakai inai pada tangan dan kaki mereka TETAPI berwaspada sekiranya tujuan pemakaiannya adalah untuk seperti memakai wangian dengan tujuan tabarruj, maka ia adalah haram.

Hadith yang kedua dan ketiga, bahawa galakan Rasulullah S.A.W menyuruh kaum wanita untuk memakai inai pada tangan adalah untuk berbeza antara lelaki dan perempuan. Di sini datang pula hadith S.A.W bahawa Allah melaknat lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai lelaki. Artikel Ini dipetik daripada : perkahwinan.com.my

Manakala berdasarkan kepada artikel yang disiarkan di laman e-fatwa, bahagian pengurusan fatwa JAKIM pula menyatakan, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-88 yang bersidang pada 2 Oktober 2009 telah membincangkan Hukum Pemakaian Inai Bercorak Mengikut Syarak. Muzakarah telah memutuskan bahawa:

Pemakaian inai pada kedua tangan dan kaki adalah diharuskan bagi wanita sama ada yang telah berkahwin atau belum selagi mana tidak menimbulkan fitnah.

Walau bagaimanapun, kadar pemakaian inai di kedua-dua tangan dan kaki adalah terhad sehingga pergelangan tangan dan buku lali sahaja, manakala warna yang digunakan tidak bersifat kekal seperti tatu dan mengandungi sebarang unsur yang meragukan. Mengenai corak atau ukiran yang digunakan pula, corak atau ukiran daun dan tumbuh-tumbuhan adalah dibenarkan, manakala corak-corak haiwan, lambang dewa-dewa atau ajaran atau apa jua gambaran yang bertentangan dengan syarak adalah dilarang.

Pemakaian inai pada kedua tangan dan kaki bagi lelaki adalah tidak diharuskan kecuali pada sebilangan jari bagi pengantin semasa majlis perkahwinan dan juga untuk tujuan perubatan.



sumber dari: adamnarzuan.blogspot.com

hukum mencukur janggut dan misai






1. Terdapat arahan dari Nabi s.a.w.;


خالفوا المشركين: وفروا اللحى، وأحفوا الشوارب
“Hendaklah kamu berbeza dengan orang-orang Musyrikin; kerana itu biarkanlah janggut dan buanglah misai” (HR Imam al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar r.a.).

Berdasarkan hadis ini, para ulamak melarang lelaki muslim mencukur janggutnya. Menurut jumhur ulamak (termasuk mazhab-mazhab empat); arahan menyimpan janggut dalam hadis di atas adalah arahan wajib.

Berkata Qadhi ‘Iyadh; “Dimakruhkan mencukur janggut. Adapun membuang sebahagian dari panjang atau lebarnya jika terlalu lebat, maka itu adalah baik/elok”. Imam Malik memakruhkan janggut yang terlalu panjang. Sebahagian ulamak menggalakkan dipotong janggut yang melebihi satu genggaman tangan. Dalam Soheh Imam al-Bukhari ada diceritakan; Ibnu Umar r.a. bila mengerjakan haji atau umrah, beliau akan menggenggam janggungnya, yang lebih (dari genggaman) akan dipotongnya” (Riwayat Imam al-Bukhari).

Namun ada juga ulamak (antaranya Imam an-Nawawi) yang berpandangan; janggut hendaklah dibiarkan tanpa diganggu kerana Nabi s.a.w. menyebutkan di dalam hadis tadi; “….biarkanlah janggut..”. (Syarah Soheh Muslim, Imam an-Nawawi).


2. Berbeza dengan janggut, misai pula diperintahkan (dalam hadis tadi) supaya dibuang (digunting/dicukur); “..buanglah misai..”. Tentang had yang perlu dibuang, para ulamak berbeza pandangan;

a) Pandangan pertama; menurut ulamak-ulamak mazhab Hanafi dan Hanbali; yang terbaik ialah mencukurnya (yakni membuang habis). Mereka berdalilkan beberapa sabda Nabi s.a.w. antaranya;


جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potonglah misai (hingga habis) dan biarkanlah janggut. Hendaklah kamu berbeza dengan orang Majusi”. (Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Menurut pandangan ini; Perkataan al-jazz dalam hadis di atas memberi makna menggunting misai dan bulu hingga sampai ke kulit.

Di dalam hadis yang lain, Nabi s.a.w. bersabda;


خالفوا المشركين: وفروا اللحى، وأحفوا الشوارب
“Hendaklah kamu berbeza dengan orang-orang Musyrikin; kerana itu biarkanlah janggut dan buanglah misai”. (Riwayat Imam al-Bukhari)

Berkata Imam Ibnu Hajar; perkataan al-Jazz dan al-Ihfa’ menunjukkan kepada tuntutan agar bersungguh-sungguh dalam membuang misai. Al-Jazz bermaksud; menggunting hingga ke kulit. Al-Ihfa’ pula bermaksud; membuang habis. Kerana itu Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensunatkan dibuang habis misai dengan mencukurnya. (Faidhul-Qadier, hadis no. 3586. Tuhfah al-Ahwazi)

b) Pandangan kedua; menurut ulamak-ulamak mazhab Syafi’ie dan Maliki; yang disunatkan hanyalah mengguntingnya sahaja supaya kelihatan bibir mulut (yakni menggunting bahagian yang memanjang ke atas bibir mulut). Adapun mencukurnya adalah dilarang, di mana hukumnya adalah makruh. Dalil mereka ialah hadis dari Ibnu ‘Abbas r.a. yang menceritakan; Nabi menggunting sebahagian misainya dan berkata; “Nabi Ibrahim melakukannya” (HR Imam at-Tirmizi. Menurut Imam at-Tirmizi; hadis ini hasan gharib). Imam al-Baihaqi meriwayatkan (dalam Sunannya) dari Syurahbil bin Muslim al-Khaulani (seorang Tabiin) yang menceritakan; Aku telah melihat 5 orang sahabat Rasulullah iaitu Abu Umamah, Abdullah bin Bisr, Utbah bin Abd as-Sulami, al-Hajjaj bin ‘Amir dan al-Miqdam bin Ma’di Yakrib, mereka menggunting misai selari dengan pangkal bibir mulut”. (al-Majmu’, Imam an-Nawawi).

Mengenai hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh pandangan pertama tadi, dijawab; yang dimaksudkan oleh Nabi dengan ucapannya “…buanglah misai..” bukanlah membuang keseluruhannya, akan tetapi membuang sebahagiannya sahaja (iaitu yang melepasi ke bibir mulut) sebagaimana yang ditunjukkan oleh sahabat Nabi tadi.

c) Pandangan ketiga; menurut Imam Ibnu Jarir at-Tabari; harus kedua-duanya, yakni kita boleh memilih sama ada hendak mengguntingnya sahaja atau mencukurnya kerana kedua-duanya sabit di dalam hadis Nabi s.a.w..

Wallahu a’lam.



sumber dari: ilmudanulamak.blogspot.com

ketakutan Insan yang paling berani






Imam al-Zahabi berkata mengenai Umar al-Khattab..

Pada suatu malam, dia keluar mengelilingi ke pelusuk-pelusuk perkampungan di Madinah. Tiba-tiba dia terdengar suara seorang perempuan yang sedang menangis disebalik pintu rumahnya. Umar terdiam sebentar, bersama dengannya adalah Aslam dan Aslam bertanya kepadanya:
“Apa yang terjadi tuan?”
Sementara Umar terus menangis dan berkata:
“Wahai Aslam, mari kita pergi.”
Aslam berkata:
“Kami kembali ke baitulmal milik kaum Muslimin, lalu Umar membawa seguni lemak, seguni minyak dan seguni tepung (gandum).
Umar berkata:
“Tolong letakkan ini di bahuku”
Aslam berkata:
“Wahai Amirul Mukminin, biarkan aku sahaja yang mengangkatnya.”
Umar berkata:
“Apakah engkau akan menanggung dosa-dosaku kelak di hari akhirat?”
Aslam berkata:
“Umar sendiri yang membawanya. Demi Allah swt, aku melihatnya berlari-lari kecil di depanku. Dia masuk ke rumah tersebut dan meminta izin duduk di sudut rumah untuk membuat hidangan makanan malam bagi keluarga itu.”
Maka perempuan itu bertanya kepadanya:
“Siapakah kamu? Semoga Allah swt merahmatimu. Demi Allah, kamu lebih baik daripada Umar.”
Seumpama perempuan itu mengatakan:

Dengan segala rendah hati, layanan dan bantuanmu dalam mempersiapkan urusan rumah tangganya, engkau lebih baik daripada Khalifah Umar al-Khattab. Padahal dia belum mengetahui insan di hadapannya itu adalah Umar al-Khattab.

Aslam berkata:
“Tatkala kami sudah selesai, aku pun pulang bersamanya, sementara azan Subuh mulai kedengaran, lalu dia mendirikan solat Subuh bersama kami. Tatkala dia sampai di bacaan firman Allah swt pada surah as-Shaafat; ayat 24:
“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentiannya) karena mereka akan di tanya.”
Umar pun menangis, hingga orang yang berada pada barisan paling akhir dapat mendengar esak tangisannya. Selepas itu, dia sakit selama sebulan karena perasaan takutnya ia kepada Allah.

Begitulah keimanan yang tersangat tinggi oleh Saidina Umar al-Khattab. Dia takut andai ada tanggungjawabnya sebagai khalifah tidak terlaksana dan akan dipersoalkan bila berada di depan Allah kelak. Hingga ke tahap inilah keimanan dan takutnya Umar al-Khattab kepada Allah sedangkan dia sendiri telah dijanjikan oleh Rasulallah saw antara 10 sahabat yang telah di jamin syurga.



sumber dari: madahannan.wordpress.com

Diam Dan Senyum Tanpa Berkata Apa-Apa






”Barangsiapa menempatkan dirinya di tempat yg menimbulkan prasangka maka janganlah menyesal kalau orang menyangka buruk padanya”.
Saidina Umar Al Khatab




Maka ada baiknya saya praktikkan ingatan nasihat Imam Syafi’i iaitu :
“Apabila berkata kepadamu orang ‘safih’ ( bodoh, provoke, emosi hingga hilang pertimbangan warasnya dan sepertinya) maka janganlah kamu menjawabnya…maka sebaik-baik jawapan kepadanya adalah senyap”



Lalu, diam itu jugalah penyelesaian paling sejahtera untuk menjernihkan keadaan.
Bersama kita menghayati sebuah peristiwa di zaman Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam:

Sa’eed bin Musayyeb berkata: Pada suatu ketika, Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam duduk-duduk bersama dengan para Sahabat. Muncul seorang lelaki lalu dia mencela dan memaki hamun Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu hingga menyebabkan Abu Bakr ’sakit’ mendengarnya. Tetapi Abu Bakr terus mendiamkan diri. Lelaki itu meneruskan lagi celaan dengan bahasa yang lebih kasar terhadap Abu Bakr, namun beliau masih terus mendiamkan diri. Masuk kali ketiga, apabila lelaki itu terus menyakiti Abu Bakr dengan lisannya, Abu Bakr bingkas mahu menjawab balik.

Lalu Baginda Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam bangun. Abu Bakr radhiyallaahu ‘anhu bertanya: apakah engkau marah denganku wahai Rasulullah? Baginda menjawab: Tidak. Cuma semasa kamu mendiamkan diri, Malaikat turun dari Langit bertindak terhadap kata-kata lelaki itu. Tetapi sebaik sahaja kamu mula membalas cacian lelaki itu, Malaikat melarikan diri lalu Syaitan datang dan duduk. Aku tidak boleh duduk di tempat yang Syaitan duduk di situ.” [ Hadith riwayat Abu Dawud]

Di alam internet yang serba mudah ini, , Postkan gambar yang baik-baik atau diam sahaja, kerana sekeping gambar boleh mengundang 1001 cerita..

Diam Dan Senyum Tanpa Berkata Apa-Apa..
Dari berbalas komen yang tiada membawa pahala sebaliknya membuahkan dosa.
Diam bukan mengalah.

Ia cara mencari Rahmah.

Mendekatkan diri kepada Allah.



sumber dari: khalifahgayong.wordpress.com

kepimpinan Saidina Umar





1. Dikeluarkan oleh Ibnu Abdul Hakam daripada Abu Soleh Al-Ghifari katanya: “Amru bin Al-‘As telah menulis sepucuk surat kepada Umar bin Al-Khattab r.a.: “ Sesungguhnya kami telah menyiapkan rancangan untuk membina sebuah rumah untuk kamu berhampiran dengan masjid jamek.”

Kemudian Umar r.a. menulis jawapan surat Amru bin Al-‘As. Beliau menulis: “ Sesungguhnya aku adalah seorang lelaki biasa dari tanah Hijaz di mana rumahnya mestilah berada di tengah-tengah kota.” Maka Umar r.a. memerintahkannya agar menjadikan rumah tersebut sebagai pasar untuk kaum muslimin.
(Sebagaimana dalam Al-Kanz. )

2. Dikeluarkan oleh Ibnu Abdul Al-Hakam daripada Abu Tamim Al-Jaishani r.a. katanya: “ Umar bin Al-Khattab telah menulis sepucuk surat kepada Amru bin Al-‘As: Amma Ba’du! Telah sampai ke pengetahuanku bahawa kamu telah membuat mimbar yang lebih tinggi daripada tengkuk kaum muslimin. Apakah yang menghalang kamu supaya berkhutbah dalam keadaan berdiri dan kaum muslimin berada di bawahmu. Aku menegaskan kepadamu agar merobohkannya.
(Sebagaimana dalam Al-Kanz. )

3. Dikeluarkan oleh Muslim daripada Abu Usman r.a. katanya: “ Umar r.a. telah menulis surat kepada kami dan kami berada di AZERBAIJAN : Ya Utbah bin Farqad! Sesungguhnya harta ini bukanlah dihasilkan daripada usaha kamu, bapa kamu mahupun ibu kamu. Kenyangkanlah kelaparan kaum muslimin di khemah-khemah mereka dengan makanan yang boleh mengenyangkan mereka dari perkhemahan kamu. Hendaklah kamu menghindari dari kehidupan bermewah-mewah dan meniru-niru cara kehidupan ahli syirik dan memakai pakaian sutera.
(Sebagaimana dalam At-Targhib. )

4. Dikeluarkan oleh Ibnu Asakir daripada Urwah bin Royam sesungguhnya Umar bin Al-Khattab r.a. sentiasa ingin mengetahui akan hal ehwal kaum muslimin. Pada suatu hari penduduk HAMAS telah datang menemuinya. Beliau pun bertanya kepada mereka: “ Bagaimanakah keadaan amir (pemimpin) kamu? ” Mereka menjawab: “ Beliau seorang yang baik melainkan beliau telah membina tingkat atas di dalam rumahnya di mana beliau tinggal di sana.

Kemudian Umar r.a. pun menulis sepucuk surat kepadanya melalui seorang penghantar surat dan memerintahkan penghantar surat tersebut membakar tingkat atas rumahnya itu. Apabila beliau sampai di sana, dia pun mengumpulkan kayu lalu membakar pintu ke bilik itu.

Apabila amir tersebut diberitahu mengenai apa yang berlaku, beliau memerintahkan orang supaya membiarkan penghantar surat itu kerana dia merupakan orang utusan khalifah. Kemudian beliau pun mengambil surat yang dibawa oleh utusan itu. Belum sempat beliau menyimpan surat itu, beliau pun menunggang kudanya untuk menemui Umar r.a.

Apabila beliau sampai di hadapan Umar r.a., Umar pun memerintahkannya supaya menemaninya ke Harra di mana terdapat banyak unta yang disedekahkan di sana. Umar r.a. pun menyuruh lelaki itu mencampakkan pakaiannya.

Kemudian Umar menyuruh lelaki itu memakai pakaian yang diperbuat daripada bulu unta dan menyuruhnya supaya melepaskan seekor selepas seekor dan memberikan minuman kepadanya. Amir itu melakukan apa yang disuruh oleh Umar r.a. sehingga beliau keletihan akibat turun dan naik atas unta tersebut. Selepas itu Umar pun bertanya kepadanya: “ Bilakah kamu membina tingkat atas itu?

Beliau menjawab: “ Baru lagi ya amirul mukminin.” Umar r.a. pun berkata: “ Kamu telah membina tingkat atas tersebut untuk menyusahkan orang ramai yang berurusan dengan kamu. Kamu duduk di atas tempat yang tinggi daripada orang-orang miskin, yatim dan fakir. Kembalilah jalankan tugas kamu dan janganlah ulangi perbuatan kamu itu.
(Sebagaimana dalam Kanzul Ummal. )

5. ( i ) Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Rahawiah dan Musaddad daripada ‘Itab bin Rifa’ah katanya: “ Telah sampai ke pengetahuan Umar r.a. bahawa Saad r.a. telah membina sebuah istana untuknya dan membina sebuah pintu gerbang di hadapan istana tersebut. Beliau juga berkata bahawa dia telah pun bebas daripada rungutan dan aduan orang ramai. Kemudian Umar r.a. pun mengutuskan Muhammad bin Maslamah r.a. Kebiasaannya Umar r.a akan melakukan sedemikian rupa jika beliau mahu sesuatu itu dilakukan mengikut kehendaknya. Beliau berkata kepada Muhammad: “ Pergilah kamu kepada Saad dan bakarlah pintu gerbang itu.”

Muhammad pun tiba di KUFAH, apabila beliau sampai di pintu gerbang itu, beliau pun mula membakarnya. Seseorang telah datang kepada Saad untuk memberitahunya mengenai kejadian itu dan menjelaskan kepadanya akan sifat orang membakar pintu tersebut dan dengan demikian Sa’ad pun mengetahui siapakah orang tersebut bahawa beliau adalah Muhammad bin Maslamah lalu keluar menemuinya.

Muhammad berkata kepada Sa’ad: “ Amirul mukminin telah diberitahu bahawa engkau telah berkata bahawa engkau telah bebas daripada rungutan dan aduan orang ramai.” Sa’ad berkata: “ Demi Allah! Aku tidak berkata sedemikian.” Muhammad berkata: “ Aku hanya melakukan apa yang telah diperintah ke atasku untuk melakukannya dan menyampaikan kepada amirul mukminin apa yang telah engkau katakan.”

Kemudian Muhammad meminta Sa’ad agar memenuhi bekalan untuk perjalanannya kembali ke MADINAH tetapi Sa’ad enggan untuk menunaikan permintaannya itu. Muhammad pun kembali ke Madinah. Apabila Umar r.a. melihat kedatangan Muhammad, beliau pun berkata kepadanya: “Aku kira kamu belum lagi menyempurnakan tugasmu? ” Muhammad berkata: “ Aku telah melakukannya dan beliau memberikan alasan dan bersumpah dengan nama Allah bahawa dia tidak berkata sedemikian.”

Umar r.a. pun bertanya: “Adakah beliau telah memberikan hadiah kepadamu? ” Muhammad menjawab: “ Negeri IRAQ adalah miskin dan penduduk kota di sekelilingku mati kelaparan. Oleh yang demikian, aku agak keberatan untuk memaksanya atas yang sedemikian itu dan engkau akan memperoleh yang sejuk dan aku akan memperoleh yang panas ( kamu akan menikmatinya sedangkan aku akan merasakan kepanasan api neraka ).

Tidakkah kamu mendengar Rasulullah SAW. telah bersabda: “ Seorang mukmin itu tidak boleh memenuhkan perutnya sedangkan jiran-jirannya dalam kelaparan.”



sumber dari: ringgoredz.blogspot.com

suka kepada 3 perkara di atas dunia





Suatu ketika Nabi saw duduk bersama dengan sahabatnya termasuklah bersama dengannya 4 orang sahabat yang besar seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar al-Khattab, Othman al-‘Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Nabi saw bertanya kepada Abu Bakar terlebih dahulu, karena Abu Bakar adalah manusia yang paling mulia, paling kuat, paling afdhal setelah Nabi saw dan dia adalah lebih tua berbanding dengan sahabat-sahabat yang lain.
Nabi saw : “Adakah engkau suka sesuatu dia atas dunia ini?
Abu Bakar as-Siddiq : “Demi kerana engkau bertanya ya Rasulallah, aku suka akan 3 perkara di atas dunia ini.”
Nabi saw : “Apa dia ya Abu Bakar?”
Abu Bakar as-Siddiq : “Aku suka melihat kepada engkau ya Rasulallah saw, duduk di hadapan engkau ya Rasulallah saw, dan aku suka menginfaqkan harta kerana engkau ya Rasulallah saw.”


         Kemudian Nabi saw bertanya pula kepada Umar al-Khattab.
Nabi saw : “Adakah engkau suka sesuatu dia atas dunia ini?”
Umar al-Khattab : “Demi kerana engkau bertanya ya Rasulallah, aku suka akan 3 perkara di atas dunia ini.”
Nabi saw : “Apa dia ya Umar?”
Umar al-Khattab : “ Aku suka untuk berkata benar walaupun ianya pahit, menyuruh kepada kebaikan walaupun ianya kecil, dan mencegah daripada kemungkaran walaupun ianya terpaksa berterus –terang”.


          Kemudian Nabi saw bertanya pula kepada Othman al-‘Affan
Nabi saw : “Adakah engkau suka sesuatu dia atas dunia ini?”
Othman al-‘Affan: “Demi kerana engkau bertanya ya Rasulallah, aku suka akan 3 perkara di atas dunia ini.”
Nabi saw : “Apa dia ya Othman?”
Othman al-‘Affan : “Aku suka memberi makan kepada orang yang memerlukan, menyebarkan salam, dan mendirikan solat di waktu malam tatkala manusia sedang nyenyak tidur.”


          Kemudian Nabi saw bertanya pula kepada ‘Ali bin Abi Thalib.
Nabi saw : “Adakah engkau suka sesuatu dia atas dunia ini?”
‘Ali bin Abi Thalib : “Demi kerana engkau bertanya ya Rasulallah, aku suka akan 3 perkara di atas dunia ini.”
Nabi saw : “Apa dia ya ‘Ali?”
‘Ali bin Abi Thalib : “Aku suka untuk berpuasa walaupun ketika berada di bawah panas yang terik, memulikan tetamu, dan membunuh musuh di medan perang dengan pedangku ini.”  

         Lalu Rasulallah saw sendiri menyatakan bahawa Baginda saw juga suka kepada 3 perkara di atas         dunia ini.
Sahabat : “Apakah ia ya Rasulallah saw?”
Rasulallah saw : “Aku suka akan wangi-wangian, isteri-isteri aku yang aku telah muliakan mereka, dan dijadikan perkara yang dapat menyejukkan mata aku dengan urusan solat.”






sumber dari: madahannan.wordpress.com

Hawa Di Mata Saidina Umar..



Hawa



Pada pandangan Saidina Umar Al-Khattab, wanita ini ada 3 jenis :-
Pertama“Wanita yang lemah lembut, iffah (menjaga kesuciannya), muslimah, penyayang dan selalu membantu suami. Jarang kita boleh mendapatkan wanita seperti ini.
Kedua“Wanita yang hanya menjadi tempat mengandung anak, tidak lebih daripada itu.
Ketiga“Wanita yang seperti dibelenggu. Sesungguhnya Allah kalungkan kepada orang yang Dia kehendaki dan mencabutnya jika Dia mengkehendakinya. Tiada apa-apa kelebihan sebagai wanita.
Jadi wanita, mana satu pilihan untuk anda? Anda memilih untuk jadi wanita jenis yang pertama, kedua atau ketiga? Aku sendiri tak berapa faham apakah maksud sebenar antara ketiga-tiga jenis wanita yang dikategorikan oleh Saidina Umar Al-Khattab ini. Harap ada sesiapa yang lebih arif boleh menerangkan tentang hal ini.

Pinangan Saidina Umar Al-Khattab ditolak sebanyak 3 kali !

Ibnu Katsir meriwayatkan di dalam Bidayah Wan Nihayah, ketika Umar Al-Khattab menjadi khalifah, beliau pernah meminang adik kepada Aisyah r.a. iaitu Ummu Kaltsum. Di dalam hal ini Umar telah mengirim surat menyatakan kepada Aisyah hasratnya. 

Namun Ummu Kalthum berkata, “Aku tidak mahu menikahinya.”

“Apakah engkau menolak Amirul Mukminin?”, tanya Aisyah.

“Ya, sebab hidupnya miskin,” jawab Ummu Kalthum.

Akhirnya Aisyah mengirim surat kepada Amru Bin Al-Ash agar Amru berusaha memalingkan keinginan Umar dari menikahi dengan adiknya. Umar kemudian berkahwin dengan anak Ali bin Abi Talib.

Di dalam Al-Farooq Umar, pakar biografi Dr Muhammad Hussein Haekal, mengisahkan riwayat yang serupa. Dengan tambahan selain Ummu Kalthum, Umar juga pernah meminang seorang wanita bernama Ummu Aban Binti Utbah. Kedua-dua wanita itu menolak pinangan beliau dengan alasan Umar adalah seorang yang kasar, sangat garang terhadap wanita, kedekut dan selalu bermasam muka.

Umar Al-Khattab adalah antara sahabat nabi yang terjamin syurga. Semasa pemerintahan beliau, beliau telah berjaya menawan sebahagian besar jaziriyah Arab. Umar sangat berilmu sehinggakan Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.”

Beliau juga seorang yang berwibawa di dalam kepimpinan, Rasulullah pernah bersabda, “sekiranya selepasku ada nabi, sudah pasti Umar.” Namun, apabila insan kelas pertama ini meminang, pinangannya ditolak!

Jadi, jangan bimbang sekiranya pinangan anda ditolak. Manusia yang sudah dijanjikan syurga pun boleh ditolak pinangannya, inikan kita yang serba daif lagi kekurangan ini. Anggaplah jodoh masih belum tiba dan Allah menjanjikan pasangan yang lebih baik untuk kita.



sumber dari: umarfaruq.com

Rabu, 22 Februari 2012Surah Taha (Ayat 1- 5) Pelembut Hati Dan Pendinding Diri






Surah Taha adalah surah yang ke 20, juzuk 16. Surah yang baik untuk melembut hati yang keras terutamanya.sekali dibacakan kepada ahli keluarga yang keras hati, malas dan degil untuk beribadat kepada Allah SWT. Boleh diamalkan sebagai ayat pendinding diri. Ayat 1 hingga 5 yang dibaca oleh Saidina Umar Al-Khattab r.a yang pada masa dan ketika itu belum lagi memeluk Agama Islam, tersentuh hatinya dan beliau terus memeluk agama Islam pada hari itu juga dihadapan Nabi Muhammad SAW.
Beliau seorang yang berani semasa kafir dan bertambah berani sesudah beriman. Sifat berani dan garang sehingga iblis atau syaitan pun tidak berani melintas dihadapan beliau lari lintang pukang jika bersua dengan Saidina Umar, inikan pula kita yang lemah semangat.
Semasa Nabi Muhammad s.a.w. mula menyebarkan Islam secara terang-terangan, Saidina Umar mempertahankan ajaran tradisi masyarakat Quraisy. Saidina Umar ialah antara orang yang paling kuat menentang Islam pada masa itu.
Menurut ahli sejarah Islam, semasa Saidina Umar dalam perjalanan untuk membunuh Rasulullah s.a.w., beliau bertembung dengan seseorang yang mengatakan bahawa beliau haruslah membunuh adik perempuannya dahulu memandangkan adiknya telah memeluk Islam.
Saidina Umar pergi ke rumah adiknya dan mendapati adiknya sedang membaca Al-Quran. Dalam keadaan yang marah dan kecewa beliau memukul adiknya. Apabila melihat adiknya berdarah, beliau meminta maaf dan sebagai balasan beliau akan membaca secebis ayat Al Quran kepada adiknya. Beliau berasa terharu apabila membaca dan mendengar ayat-ayat Al Quran yang begitu indah sehinggakan beliau memeluk Islam pada hari itu juga. Itulah kelebihan Surah Taha yang dibaca oleh beliau.
Selepas peristiwa terbabit, beliau berjanji akan melindungi Islam sehingga ke titisan darah terakhir. Dia menjadi khalifah kedua Islam pada 23 Ogos (633-644) bersamaan 22 Jamadilakhir tahun 13 Hijrah dan merupakan salah satu khalifah di dalam Khulafa al-Rasyidun.
Sebuah hadith dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahawa Rasulullah SAW berkata:
“Apabila Umar memeluk Islam, Jibril pun datang dan berkata: “Ya Muhammad, sesungguhnya seluruh makhluk langit bergembira dengan islamnya Umar”
Setelah memeluk Islam, Rasulullah SAW telah mengelarnya sebagai Al-Faruq kerana dapat membezakan di antara perkara yang benar dan bathil. Ketika ditanya oleh para sahabat bagaimana dia mendapat gelaran tersebut, Saidina Umar menjawab : “Pada suatu hari, Aku bertanya kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah SAW, adakah kita dalam kebenaran ?”
Jawab Rasulullah SAW: “Benar”
Aku berkata lagi: “Kenapakah kita beribadah secara sembunyi ?”
Kemudian kami masuk ke Masjidil Haram membuat dua syaf, satu saya dan satu lagi Saidina Hamzah (berjemaah). Maka semua orang KAFIR Quraisy melihat ke arah kami berdua dengan perasaan yang sangat marah yang tidak pernah mereka terjadi sebelum ini, lalu Rasulullah SAW mengelarkan aku Al-Faruq!
Dengan islamnya Umar, maka umat Islam yang sebelum itu sentiasa ketakutan menjadi kuat. Mereka telah berani solat secara terang-terangan di BaitulLah khususnya setelah peristiwa di atas. Di samping itu juga, orang Quraisy juga tidak berani menganggu orang Islam yang sedang beribadah kerana takut kepada Umar.


Terjemahan Ayat 1 – 5 (Surah Taha).
1. Taa. Haa.
2. Kami tidak menurunkan A-Quran kepadamu (wahai Muhammad) supaya engkau menanggung kesusahan.
3. Hanya untuk menjadi peringatan bagi orang-orang yang takut yang melanggar perintah Allah.
4. Al-Quran diturunkan dari tuhan yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
5. Ia-itu Allah Ar-Rahmaan,yang bersemayam diatas ‘Arasy.
Bacaan Untuk Anak/Suami Yang Degil Yang Tak Mahu Solat
Baca doa ini 3 x dan dihembuskan semasa anak/suami anda sedang tidur pada hidungnya semasa ia sedang menarik nafas masuk. Lakukan sekurang-kurangnya 7 malam semasa anak /suami sedang tidur nyenyak. InsyaAllah…
Wallahu’alam….



sumber dari: ariffhashim.blogspot.com

khat -Saidina Umar





Friday 7 December 2012

Election of Abu Bakr to Caliphate





After Muhammad’s death, previously dormant tensions between the Meccan immigrants, the Muhajirun, and the Medinan converts, the Ansar, threatened to break out and split the Ummah. Other Arabic tribes also wished to revert to local leadership and split from Medina’s control. In some places, people claiming prophethood started to establish leaderships to oppose Medina, e.g. Al-Aswad Al-Ansi and Musaylimah. All of which are events that lead to splitting the Muslim community.

The Ansar, the leaders of the tribes of Medina, met in a hall or house called saqifah, to discuss whom they would support as their new leader. When Abu Bakr was informed of the meeting, he, Umar, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah and a few others rushed to prevent the Ansar from making a premature decision. Accounts of this meeting vary greatly. All agree that during the meeting Umar declared that Abu Bakr should be the new leader, and declared his allegiance to Abu Bakr, followed by Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, and thus Abu Bakr became the first Muslim caliph, who was given the title, Khalifa-tul-Rasool (Successor of messenger of Allah), a title only accepted by Sunni Muslims.

Shias criticise Abu Bakr for forsaking the funeral of Muhammad to attend the political gathering, and believe that Muhammad had already appointed Ali in his lifetime as his successor. This view portrays Abu Bakr and Umar as plotters in a political coup against the Alids. The Ismaili Shia Institute researcher Wilfred Madelung portrays Abu Bakr as a political opportunist whose character as the founder of Sunni Islam has been extensively embellished by subsequent kings and emperors (caliphs) making it difficult to openly criticise him. Some sects of Islam like Shia strongly believe that Abu Bakr deceived Ali, keeping Ali from his right as khilafat since he was true successor to Muhammad.

Sunnis on the other hand believe that all the Muslims in Madina gave their allegiance to Abu Bakr, including Ali. All Sunnis acknowledged Abu Bakr as the rightful successor to Muhammad. On account of him being one of the earliest of companions, and on account of his aiding and supporting Muhammad in his mission from the very early days of Islam, from his deep knowledge and piety from having spent so many years with Muhammad, and on account of so many indications that Muhammad gave that Abu Bakr is the right successor.

Examples of these include Muhammad specifically designating Abu Bakr to lead the Muslims in prayer in his last days when he was too ill to lead the prayer. Muhammad also appointed to Abu Bakr to lead the pilgrimage to Makka. There was also a time when a woman came to Muhammad with a question and he asked her to come back tomorrow, she then asked “What if I do not find you”, and he then said “Go to Abu Bakr”. According to Sunnis all of these show the virtue of Abu Bakr and his being the rightful successor.
Reign as a Caliph:

After assuming the office of Caliphate Abu Bakr’s first address was as follow:
I have been given the authority over you, and I am not the best of you. If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. Sincere regard for truth is loyalty and disregard for truth is treachery. The weak amongst you shall be strong with me until I have secured his rights, if God wills; and the strong amongst you shall be weak with me until I have wrested from him the rights of others, if God wills. Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, ye owe me no obedience. Arise for your prayer, God have mercy upon you.

Abu Bakr’s Caliphate lasted for 27 months, during which he crushed the rebellion of the Arab tribes throughout Arabia in the successful campaign against Apostasy. In the last months of his rule, he launched campaigns against the Sassanid Empire and the Eastern Roman Empire (Byzantine Empire) and thus set in motion a historical trajectory (continued later on by Umar and Uthman) that in just a few short decades would lead to one of the largest empires in history. He had little time to pay attention to the administration of state, though state affairs remained stable during his Caliphate. On the advice of Umar and Abu Ubaidah ibn al-Jarrah he agreed to have a salary from state treasury and abolish his cloth trade.



sumber dari: wajibad.wordpress.com

keistimewaan Saidina Abu Bakar sebagai sahabat yang sama-sama menempuh kesukaran dan kepahitan dengan Rasulullah






Tatkala kekejaman orang-orang musyrikin Quraisy terhadap kaum Muslimin yang sedikit jumlahnya di Mekah semakin hebat dan membahayakan, Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan mesyuarat di rumah Saidina Abu Bakan R.A. untuk mencari jalan keluar drpd kesulitan yang sedang dihadapi oleh kaum Muslimin. Ketika itulah Rasulullah S.A.W. menjelaskan kepada Saidina Abu Bakar bahawa Allah S.W.T telah memerintahkan baginda supaya melakukan hijrah ke Madinah serta meminta Saidina Abu Bakar supaya menemaninya dalam hijrah tersebut. Dgn perasaan gembira tanpa sedikit kebimbangan pun beliau menyambut permintaan Rasulullah S.A.W.

Dari pintu belakang rumah Saidina Abu Bakar, Rasulullah S.A.W. bersama-sama beliau menuju ke Gunung Tsur dan bersembunyi di gua yang diberi nama Gua Tsur. Ketika suasana amat genting, Saidina Abu Bakar diserang kegelisahan dan cemas kerana khuatir kalau-kalau musuh dapat mengetahui di mana Rasulullah sedang bersembunyi, maka pada saat itu turun ayat suci Al Quran dari Surah Taubah yang isinya memuji Saidina Abu Bakar, sebagai orang kedua sesudah Nabi s,a.w. dalam Gua Tsaur. Dalam pada itu Rasulullah S.A.W. pun faham dgn situasi dan kegelisahan sahabatnya itu, lalu Rasulullah berkata, "Apakah yang menggelisahkanmu, bukankah Allah menemani kita?

untuk menghilangkan kebimbangan Saidina Abu Bakar, Rasulullah S.A.W kemudian berkata, "Sekiranya mereka masuk juga ke dalam gua ini kita masih dapat melepaskan diri dari pintu belakang itu, ujar Rasul sambil menunjukkan belakang mereka. Saidina Abu Bakar R.A. pun menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya beliau bila dilihatnya pintu belakang yang ditunjuk oleh Rasul itu, padahal pintu tersebut tadinya tidak ada sama sekali. Sebenarnya kebimbangan Abu Bakar ketika di dalam gua itu bukanlah kerana takut nyawanya diragut oleh pihak musuh tetapi yang lebih dibimbangkannya ialah keselamatan jiwa Rasulullah. Beliau pennah berkata, "Yang saya bimbangkan bukanlah mengenai diri saya sendiri, kalau saya terbunuh, yang tewas hanyalah seorang manusia biasa. Tapi jika tuan yang dibunuhnya maka akan hancur satu cita-cita yang suci murni.Akan runtuh keadilan dan akan tegak pula kezaliman.

Kisah ketika dalam gua itu ada disebut dalam Surah Al Baqarah,40: "Kalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) ketika dia diusir oleh orang-orang kafir (dan kampung halamannya), dalam keadaan berdua orang sahaja di dalam suatu gua, Di kala itu dia (Muhammad) berkata kepada sahabat karibnya (Abu Bakar): Jangan engkau berdukacita; sesungguhnya Tuhan bersama kita. Tuhan menurunkan ketenanganNya kepadanya, dan dikuatkannya dengan tentera yang tidak kamu lihat. Dan Tuhan menjadikan perkataan orang yang kafir itu paling rendah dan perkataan Tuhan itu yang amat tinggi. Dan Tuhan Maha Kuasa dan Bijaksana.

Demikianlah satu lagi keistimewaan Saidina Abu Bakar sebagai sahabat yang sama-sama menempuh kesukaran dan kepahitan dengan Rasulullah dalam menyampaikan seruan Islam. Saidina Abu Bakar tidak berjauhan dengan Rasulullah sepanjang hidupnya dan menyertai semua peperangan yang disertai oleh baginda. Beliau bukan sahaja berjuang menegakkan Agama Islam dengan segenap jiwa raganya bahkan juga dengan harta kekayaannya. Seluruh kekayaannya habis digunakannya untuk penjuangan menegakkan kalimah Allah. Di kalangan para sahabat beliau tergolong dlm orang yang paling murah hati dan dermawan sekali. 



sumber dari: al-ghurabaa90.blogspot.com

Abu Bakr as Amir-ul-Hajj






In 631 AD, Muhammad sent from Medina a delegation of three hundred Muslims to perform the Hajj according to the new Islamic way. Abu Bakr was appointed as the leader of the delegates. Abu Bakr had thus the honour of being the First Amir-ul-Hajj in the history of Islam. Some time after Abu Bakr and his party had left for Hajj, Muhammad received a revelation about the regulation of the Hajj, and the ordering of relationships with the infidels. It is related that when this revelation came, some one suggested to Muhammad that he should send news of it to Abu Bakr. Muhammad said that only a man of his house could proclaim the revelation.

Muhammad summoned Ali, and asked him to proclaim the revealed verses to the people on the day of sacrifice when they assembled at Mina. Ali went forth on Muhammad’s slit-eared camel, and overtook Abu Bakr. When Ali joined the party, Abu Bakr wanted to know whether he had come to give orders or to convey them. Ali said that he had not come to replace Abu Bakr as Amir-ul-Hajj, and that his only mission was to convey a special message to the people on behalf of Muhammad.

At Mecca, Abu Bakr presided at the Hajj ceremony, and Ali read the proclamation on behalf of Muhammad. The main points of the proclamation were: Henceforward the non-Muslims were not to be allowed to visit the Kaaba or perform the pilgrimage.
No one should circumambulate the Kaaba naked. Polytheism was not to be tolerated. Where the Muslims had any agreement with the polytheists such agreements would be honoured for the stipulated periods. Where there were no agreements a grace period of four months was provided and thereafter no quarter was to be given to the polytheists.

From the day this proclamation was made a new era dawned in Arabia. Henceforward Islam alone was to be supreme in Arabia. In some quarters an argument is advanced that as on this occasion the proclamation was read by Ali on behalf of Muhammad, this establishes the precedence of Ali over Abu Bakr, and that therefore when after the death of Muhammad, Abu Bakr became the Caliph in disregard of the claims of Ali, he was a usurper.

On this occasion Ali did not replace Abu Bakr as Amir-ul-Hajj. Ali was merely assigned a special mission to read the proclamation as according to Muhammad only a man from his own house could communate the revelation. We can thus say that on this occasion Abu Bakr represented the temporal side, while Ali represented the spiritual side. After the death of Muhammad there was no longer the question of any spiritual representation; the issue was only temporal representation, and for this Abu Bakr was the best choice as he had thus represented Muhammad even in his lifetime.



sumber dari: wajibad.wordpress.com

Gelaran As-Siddiq yang diberikan






Saidina Abu Bakar adalah seorang sahabat yang terkenal kerana keteguhan imannya, cerdas akal, tinggi akhlak, lemah lembut dan penyantun. Rasulullah S.A.W. pernah menyanjungi sahabatnya itu dengan sabdanya, "Jika ditimbang iman Abu Bakar As-Siddiq dengan iman sekalian ummat, maka berat lagi iman Abu Bakar. Demikian teguhnya iman Saidina Abu Bakar jika kita memperhatikan pengertian yang terkandung pada sabda Rasulullah S.A.W mengenai dirinya itu. Gelaran As-Siddiq yang diberikan orang terhadap Saidina Abu Bakar adalah lantaran sikap serta pendiriannya yang teguh dalam membenarkan serta membela Rasulullah S.A.W. Andai sekalian ummat manusia mendustakan Muhammad S.A.W, Abu Bakar R.A. akan pasti tampil dengan penuh keyakinan untuk membelanya.

Tidak berapa lama setelah memeluk Islam, Saidina Abu Bakar yang terkenal sebagai saudagar yang kaya itu telah meninggalkan perdagangannya dan meninggalkan semua usaha peribadi lainnya lalu menyerahkan segenap kekayaan dan jiwa raganya untuk perjuangan menegakkan Islam bersama Nabi Muhammad S.A.W. Beliau telah mengorbankan seluruh harta bendanya untuk menebus tawanan, orang-orang yang ditangkap atau disiksa. Selain itu beliau juga telah membeli hamba-hamba yang kemudian dimerdekakannya. Salah seorang hamba yang dibelinya lalu dibebaskan ialah antara yang terkenal dalam sejarah iaitu Bilal Bin Rabah.

Setelah berlakunya Isra' dan Mikraj, segolongan orang yang kurang mempercayai apa yang telah dikhabarkan Rasulullah S.A.W. telah pergi menemui Saidina Abu Bakar untuk mendengarkan pendapatnya tentang dakwaan Nabi Muhammad S.A.W. itu. Tujuan kedatangan mereka mendapatkan Saidina Abu Bakar tidak lain dengan sangkaan tentunya beliau kali ini akan mendustakan kisah yang tidak masuk akal pada fikiran mereka itu. Setelah berita itu disampaikan kepada Saidina Abu Bakar, lalu beliau pun berkata, "Adakah Muhammad berkata begitu? Sahut mereka, "Benar! Maka ujar Saidina Abu Bakar R.A. "Jika Muhammad berkata begitu maka sungguh benarlah apa yang diceritakan itu. Lalu mereka pun terus menyambung, "Engkau percaya hai Abu Bakar bahawa malam tadi Muhammad sampai ke tanah Syam yg mengambil masa lebih sebulan perjalanan? Maka sahut Abu Bakar dgn bersungguh-sungguh, "Benar! Aku percaya! Malah lebih dari itu pun aku percaya kepadanya. Aku percaya akan berita dari langit yang diberitakannya baik pada waktu siang mahupun malam!

Demikian hebatnya kepercayaan sahabat yang paling utama itu. Kerana tegas dan teguhnya iman beliau terhadap agama yang dibawa oleh Muhammad dan terhadap apa yang dikhabarkan oleh baginda, maka beliau telah diberi oleh Rasulullah S.A.W. dengan gelaran As-Siddiq, ertinya yang benar.

Dan tidak menghairankan langsung sikap Abu Bakar itu. Beliau telah mengenali Rasulullah S.A.W. bukan sehari dua, tetapi sudah boleh dikatakan seumur manusia. Beliau tahu bahawa sahabatnya itu berkata benar, tak pernah berbohong;Al- Amin. Mustahil baginda akan mengkhianati pengikut yang percaya kepadanya. Beliau mengimani sahabatnya itu Pesuruh Allah Yang Maha Kuasa, menerima wahyu daripada Allah. Beliau sudah bertahun-tahun mengikut petunjuk yang diwahyukan Allah kepada sahabatnya itu, maka amat teguhlah iman dalam hatinya. 



sumber dari: al-ghurabaa90.blogspot.com

Acceptance of Islam





On his return from a business trip from Yemen, he was informed by friends that in his absence Muhammad had declared himself the Messenger of God, and proclaimed a new religion. Tabari, the most famous Muslim historian, in his Ta’rikh quotes from Muhammad Bin Sa’ad Bin Abi Waqqas, who said: I asked my father whether Abu Bakr was the first of the Muslims. He said, ‘No, more than fifty people embraced Islam before Abu Bakr; but he was superior to us as a Muslim. And Umar ibn Khattab had embraced Islam after forty-five men and twenty-one women. As for the foremost one in the matter of Islam and faith, it was Ali ibn Abi Talib Other Sunnis and all Shi’a Muslims maintain that the second person to publicly accept Muhammed as the messenger of God was Ali ibn Abi Talib, the first being Muhammad’s wife Khadija.


His wife Qutaylah bint Abd-al-Uzza did not accept Islam and he divorced her. His other wife, Um Ruman, became a Muslim. All his children except Abdu’l-Rahman ibn Abu Bakr accepted Islam, and Abu Bakr separated from his son Abdu’l-Rahman.
His conversion brought the most benefit to Islam. Abu Bakr’s brought many people to Islam. He persuaded his intimate friends to convert to Islam. and presented Islam to others in such a way that many of his friends accepted Islam.
Those who converted to Islam at the insistence of Abu Bakr were:
  • Uthman Ibn Affan: (who would became the 3rd Caliph)
  • Al-Zubayr: (played a part in the Muslim conquest of Egypt)
  • Talha Ibn Ubayd-Allah
  • Abdur Rahman bin Awf: (who would remain an important part of the Rashidun Caliphate)
  • Sa`d ibn Abi Waqqas: (played a part in the Islamic conquest of Persia)
  • Abu Ubaidah ibn al-Jarrah: (who remained commander in chief of the Rashidun army in Syria
  • Abu Salama: (Abdullah bin Abdul Asad)
  • Khalid ibn Sa`id
  • Abu Hudhaifah ibn al-Mughirah
Abu Bakr’s acceptance proved to be a milestone in Muhammad’s mission. Slavery was common in Mecca, and many slaves accepted Islam. When an ordinary free man accepted Islam, despite opposition, he would enjoy the protection of his tribe. For slaves however, there was no such protection and they commonly experienced persecution. Abu Bakr felt compassion for slaves, so he purchased eight slaves (four men and four women) and then freed them, paying 40,000 dinar for their freedom.



sumber dari: wajibad.wordpress.com

Islamnya Saidina Abu Bakar As-Siddiq




Abu Bakar as-Siddiq ialah khalifah pertama Muslim dari tahun 632-634. Beliau pada awalnya digelar Abdul Kaabah (hamba Kaabah) tetapi selepas pengislamannya, beliau menukar namanya kepada Abdullah. Namun beliau selalu digelar Abu Bakar (daripada perkataan Arab Bakar yang bermaksud unta muda) kerana beliau amat gemar membiak unta. Beliau amat terkenal dengan gelaran As-Siddiq (yang membenarkan). Nama sebenar beliau ialah Abdullah ibni Abi Qahafah.


Dari segi umur, Saidina Abu Bakar adalah dua tahun lebih muda dari Rasulullah S.A.W. dan telah menjalin persahabatan yang akrab dengan Rasulullah sebelum Rasulullah S.A.W. menjadi Rasul lg. Beliaulah sahabat yang dianggap paling banyak berkorban harta utk menegakkan Islam bersama Nabi Muhammad S.A.W. Kerana besarnya pengorbanan beliau itulah Rasulullah S.A.W. pernah mengatakan bahawa Islam telah tegak di atas harta Siti Khadijah dan pengorbanan Saidina Abu Bakar. Gelaran As-Siddiq yang diberikan kepadanya itu adalah kerana sikapnya yang selalu membenarkan apa sahaja kata-kata mahupun perbuatan Nabi Muhammad S.A.W. Dalam hal ini mari kita petik suatu kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud yang diceritakan sendiri kepadanya oleh Saidina Abu Bakar, tentang bagaimana Saidina Abu Bakar memeluk agama Islam.

Kata Saidina Abu Bakar R.A. ketika menceritakan suatu kisah mengenai dirinya kepada Ibnu Mas'ud, "Aku pernah mengunjungi seorang tua di negeri Yaman. Dia rajin membaca kitab-kitab dan mengajar banyak murid. Dia berkata kepadaku:

"Aku kira tuan datang dan Tanah Haram.

"Benar, jawabku.

"Aku kira tuan berbangsa Quraisy?

"Benar, ujarku lagi.

"Dan apa yang aku lihat, tuan dari keluarga Bani Taiyim?

"Benarlah begitu, tambahku selanjutnya.

Orang tua itu terus menyambung, katanya, "Ada satu lagi hal yang hendak aku tanyakan dari tuan, iaitu tentang diri tuan sendiri. Apakah tak keberatan jika aku lihat perutmu?

Maka pada ketika itu aku pun berkata, "Aku keberatan hendak memperlihatkan selagi tuan tidak nyatakan kepadaku perkara yang sebenarnya.

Maka ujar orang tua itu, "Aku sebenarnya melihat dalam ilmuku yang benar bahawa seorang Nabi Allah akan diutus di Tanah Haram. Nabi itu akan dibantu oleh dua orang sahabatnya, yang seorang masih muda dan seorang lagi sudah separuh umur. Sahabatnya yang muda itu berani berjuang dalam segenap lapangan dan menjadi pelindungnya dalam sebarang kesusahan. Sementara yang separuh umur itu putih kulitnya dan berbadan kurus, ada tahi lalat di perutnya dan ada suatu tanda di paha kirinya. Apalah salahnya kalau tuan perlihatkan kepadaku.

Maka sesudah dia berkata itu aku pun membuka pakaianku lalu orang tua itu pun melihatlah tahi lalat hitam di atas bahagian pusatku seraya berkata, "Demi Tuhan yang menguasai Kaabah, tuanlah orangnya itu!

Kemudian orang tua tu pun memberi sedikit nasihat kepadaku. Aku tinggal di Yaman untuk beberapa waktu kenana mengurusi perniagaanku dan sebelum meninggalkan negeri itu aku sekali lagi pergi menemui orang tua tersebut untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kemudian dia lalu bertanya, "Bolehkah tuan menyampaikan beberapa rangkap syairku?

"Boleh sahaja, jawabku.

Setelah itu aku pun membawa pulang syair-syair itu ke Mekah. Setibanya aku di Mekah, para pemuda bergegas datang menemuiku seraya berkata, "Adakah engkau tahu yang sudah terjadi? Maka ujarku pula, "Apakah yang terjadi itu?

Jawab mereka, "Si yatim Abu Talib kini mengaku menjadi nabi! Kalaulah tidak mengingat engkau hai Abu Bakar, sudah lama kami selesaikan dia. Engkaulah satu-satunya yang kami harapkan untuk menyelesaikannya.

Kemudian aku pun meminta mereka pulang dahulu sementara aku sendiri pergi menemui Muhammad. Setelah menemuinya aku pun mengatakan, "Wahai Muhammad, tuan telah mencemarkan kedudukan keluarga tuan dan aku mendapat tahu tuan terang-terang telah menyeleweng dari kepercayaan nenek moyang kita.

Maka ujar baginda, "Bahawa aku adalah pesuruh Allah yang diutuskan untukmu dan untuk sekelian ummat!

Aku pun bertanya kepada baginda, "Apa buktinya?

Jawabnya, "Orang tua yang engkau temui di Yaman tempoh hari.

Aku menambah lagi, "Orang tua yang mana satukah yang tuan maksudkan kerana ramai orang tua yang aku temui di Yaman itu?

Baginda menyambung, "Orang tua yang mengirimkan untaian syair kepada engkau!

Aku terkejut mendengarkannya lalu bertanya, "Siapakah yang telah memberitahu tuan, wahai sahabatku?

Maka ujar baginda, "Malaikat yang pernah menemui nabi-nabi sebelumku.

Akhirnya aku berkata, "Hulurkan tangan tuan, bahawa dengan sesungguhnya aku naik saksi tiada Tuhan yang kusembah melainkan Allah, dan tuan (Muhammad) sebenarnya Pesuruh Allah.

Demikianlah kisah indah yang meriwayatkan bagaimana Islamnya Saidina Abu Bakar As-Siddiq. Dan menurut riwayat, beliau merupakan lelaki yang pertama yang beriman kepada Rasulullah S.A.W. 



sumber dari: al-ghurabaa90.blogspot.com